Sebuah cita dari lima cita (Pancita) yang menjadi program utama UIN Alauddin adalah menjadikan UIN Alauddin sebagai rumah moderasi. Sebuah ide yang sangat penting untuk diwujudkan di tengah kehidupan ideologi beragama yang saling berkompetisi memperbutkan ruang publik. “Mengkaji, mendiskusikan dan mendesiminasikan ide-ide moderasi untuk kebermanfaatan dan tentunya untuk keutuhan negara dan bangsa,” demikian Prof. Dr. Hamdan. MA dalam kesempatan memberikan sambutan di depan wakil Menteri Agama (Sabtu 10/10/20)


Agenda moderasi beragama bukanlah agenda lokal atau institusi semata, tetapi menjadi agenda nasional bahkan internasional. Sebuah agenda yang bercita-cita mewujudkan kehidupan umat beragama untuk saling menyapa, hidup bersama dan bersesama. Ini disebabkan karena agama dapat memberikan pengaruh besar dalam berbagai sektor kehidupan. Agama menjadi “heart of life” yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan.  
Awal abad 20 agama pernah diramalkan akan menemukan kematian seiring dengan kemajuan sains dan teknologi. Ketika itu peran agama diramalkan akan tergeser oleh kekuatan sains dan teknologi. Agama lebih bersifat formalis dan hanya menjadi identitas simbolik. Namun, kenyataannya ramalan tersebut meleset atau tidak terbukti. Saat ini, agama berperan sangat sentral di dalam kehidupan manusia baik dalam kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, industri, lingkungan dan sebagainya. Bahkan agama dijadikan sebagai politik identitas untuk memenangkan sebuah pertarungan di dalam politik.
Problematika muncul ketika, agama diekspresikan secara radikal. Agama dipahami secara harfiah atau tekstual.  Terjadi absolutisme agama dan pemutlakan atas sebuah pemahaman keagamaan yang diyakini lalu menganggap pemahaman orang lain keliru. Akibatnya, siapapun yang berbeda dengannya pasti dinyatakan salah bahkan bisa dipandang kafir. Parahnya lagi, pemahaman agama yang radikal ini dibawa ke ruang politik,  maka terjadilah pengabaian nilai-nilai inklusif yang egaliter dan demokratis. Benturan ideologi keberagamaan menjadi tak terhidarkan.  
Konflik ideologi keberagamaan ini tidak saja terjadi antar pemeluk agama, tetapi juga di dalam intern umat beragama (baca; Islam). Terjadi pertarungan ideologi di ruang publik untuk menarik simpatik  dari masyarakat yang hidup di tengah era postmodernisme ini. Pertarungan ini biasa berujung kepada tragedi kemanusiaan yang kadang melampaui batas-batas  akal sehat. Seruan dan himbauan moral dari pemuka agama dan tokoh masyarakat tampak tidak cukup efektif dan ampuh untuk meredam konflik. Sepertinya terdapat jarak yang cukup jauh antara nilai-nilai yang diajarkan agama dengan kenyataan di lapangan.  
 
Islam merupakan agama yang sangat jelas menentang terjadinya konflik baik sesamanya maupun dengan orang yang berbeda agama. Di dalam QS. Al-Maidah (5): 8 Allah berfirman: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil”. Kata Islam dan ucapan assalāmu’alaikum yang menjadi identitas umat Islam merupakan sebuah doa agar orang lain merasakan kedamaian. Di beberapa hadis, salah satunya  diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas ibn Mālik, Nabi saw berkata: ”Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat seperti kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu mengecoh Allah dalam hal jaminanNya”. (HR. Bukhari; 167)
 Pluralitas keyakinan dan pemahaman merupakan sebuah sunnatullah. Oleh karena itu, seseorang jangan sampai sesak dada dan sempit nafas jika ada orang lain tidak mau mengikuti pahamnya. Allah sendiri yang menciptakan manusia, tidak mau memaksakan kehendakNya, tetapi Dia memberikan alternatif untuk memilih apakah beriman atau kafir.  Quraish Shihab (1994) menyatakan bahwa perbedaan pemahaman terutama dalam hal keberagamaan merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu diperlukan sebuah kearifan dalam menyikapi sebuah perbedaan.  
 
Atas dasar pemikiran di atas, moderasi beragama menjadi sangat urgen. Dalam kaitan ini sudah sangat tepat Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN) mengambil langkah nyata untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. PTKIN harus menjadi garda terdepan dalam mendesiminasikan gagasan moderasi beragama.
UIN Alauddin sebagai salah satu PTKIN terbesar di Indonesia Timur harus mampu memainkan peranannya sebagai lokomotif moderasi beragama. Institusi ini harus menjadi rumah bagi hadirnya harmonisasi kehidupan keberagamaan, baik secara internal maupun ekternal. Pernyataan Rektor yang menegaskan bahwa UIN menjadi  rumah moderasi beragama adalah bukti keberpihakan Lembaga ini terhadap terlaksananya misi Islam wasathiyah di negeri yang tercinta ini. Lebih jauh Rektor menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah benteng terakhir pendidikan formal anak bangsa, sehingga perguruan tinggi memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan moderasi beragama. Pernyataan ini tentu bukan tanpa alasan mengingat UIN Alauddin menjadi epicentrum keilmuan, dan peradaban. 
Meski demikian, cita-cita ini bukan tanpa hambatan dan tantangan. Terbukanya ruang demokrasi serta perkembangan IT yang sangat cepat menjadi ruang tersendiri bagi penyemaian ide-ide keberagamaan. Jika UIN tidak dapat menandingi kecepatan merebut ruang publik untuk menyemai nilai-nilai moderasi beragama, maka kelompok-kelompok anti toleransi akan semakin gencar melakukan propaganda ideologi. Hadirnya kelompok-kelompok Sounding Minority (Kelompok/Organisasi kecil mengatasnamakan Islam tapi bersuara lantang) menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi UIN Alauddin Makassar. Kelompok seperti bahkan mampu menembus dan menacak-acak pagar akademik yang sejatinya menjadi benteng yang tidak boleh diintervensi oleh kekuatan apapun dari luar. Otoritas dan kebebasan akademik menjadi core values bagi perguruan tinggi.
 Karena itu, sesuai dengan pesan Wamen Zainut Tauhid, para sivitas akademika harus mampu menjaga DNA UIN Alauddin sebagai penyebar ajaran Islam rahmatan lil alamin, Islam moderat, Islam wasathiyah. UIN harus lebih lantang dalam memberikan pencerahan dan melakukan kontra narasi yang diproduksi oleh kelompok intoleran. Ini penting untuk diingat, sebab narasi yang tidak pernah dibantah, menurut teori komunikasi, akan menjadi sebuah kebenaran.


Sungguminasa, 13 Oktober 2020