Selams kuliah memang saya lebih banyak aktif di luar kampus, seperti di Ikatan Remaja Masjid Aqsha di bawah Juridiksi DPP IMMIM. Setelah BKPMI berdiri di Sulawesi Selatan sayalah sekum pertamanya yang diketuai Drs. Muh. Yamin Amna. Di samping itu saya aktif di Pengajian Aqsha. Saya sengaja pindah kos dari Jalan Andi Mappayuki ke Jalan Maipa pada tahun 1979, dekat Masjid Aqsha, semata untuk bisa lebih konsentrasi pada pangajian.

Pada Akhir Desember 1980 Pengajian Agsa sedang mengangkat Tema Tasawuf. Karena ketua Umum dan sekretaris Umum sedang tugas luar. Ketua Umum sedang dalam perjalanan dinas ke Jakarta dan sekretaris umum sedang lanjut studi di Prancis, maka yang aktif adalah Wakil Ketua, Husni Djamaluddin dan saya sebagai Wakil Sekretaris. Kebetulan kami mendengar Gurutta K.H. Sahabuddin sedang transit di Makassar dalam perjalanan dinas dari Jakarta ke Ternate. Kami segera menemui beliau dan meminta kesiapannya memberi Pengajian di Aqsha yang bertema tasawuf dengan sub tema masalah Nur Muhammad saw. Menurut hasil rapat panitia, beliaulah yang paling memiliki otoritas membawakan tema tersebut, beliau bukan hanya teoritis tentang tasawuf sekaligus seorang praktisi yang diimplementasikan dalam tarekat Qadiriah yang oleh pengikutnya beliau disebut sebagai seorang sufi dari Tana Mandar. 

Kajian tasawuf memang dibagi dalam beberapa sub tema. Kami laksanakan secara berseri selama lebih sebulan dan setiap sub tema dilaksanakan sekali seminggu, kemudian diakhiri dengan Diskusi Panel. Alhamdulillah, beliau siap dengan catatan diizinkan Rektor IAIN Alauddin karena Fakultas Tarbiyah Ternate waktu itu masih sebagai cabang dari Alauddin Makassar. Kami pun menemui Rektor yang dijabat oleh Drs. H. Moerad Oesman dan beliau mengizinkannya

Saya masih ingat Panel Diskusi dilaksanakan di Masjid Kampus IAIN dan inilah diskusi yang paling ramai dan meria sepanjang sejarah Pengajian Aqsha sampai masjid penuh berdesakan, yang dimulai sesudah salat subuh sekitar jam 05.15 dan berakhir sampai jam 09.00 pagi. Bahkan banyak dari daerah yang sengaja datang untuk mengikutinya, seperti K.H. Jalaluddin dari Tana Mandar,  Dr. Arif Djamaluddin dari Jakarta, serta Habib Abubakar al-Attas dari Kota Baru, Kalimantan Selatan dan beliau termasuk pembicara aktif.

Panel Diskusi itu dimoderatori oleh Husni Djamaluddin, seorang yang dijuluki "Pausnya Puisi." Pembicara lengkap dengan GELAR MEREKA MASING-MASING PADA WAKTU ITU, yaitu Drs. Syuhudi Ismai, Dr (H) K.H. Mustafa Zuhri, Drs. K.H. Muchtar Husein, Drs. K.H. Sahbuddin, Drs. Muhammad Ahmad, dan  Drs. K.H. Rahim Amin. Sedang peserta aktif yang ikut berbicara adalah H.M. Quraish Shihab, M.A., Drs. H. Moerad Oesman, Habib Abubakar al- Atas, K.H. Muhammad Nur, K.H. Bakri Wahid, dan K.H. Khalid Husein. Seperti yang dikatakan H.M. Quraish Shihab, M.A. bahwa diskusi ini membicarakan masalah tasawuf tetapi berujung pada masalah Nur Muhammad. Di sinilah letak munculnya perbedaan dan masing-masing memiliki argumen , terutama antara Drs.K.H. Muchtar Husein dan Drs. K.H. Sahbuddin. Sampai Asnawi M. Parampasi, B.A. menyampaikan pada saya, "Anda membuat pertengkaran orang-orang Mandar, sebab pelaksana kajian terdiri dari orang Mandar; yaitu Anda dan Husni Djamaluddin sedang pembicaranya juga orang Mandar, yaitu Drs. Muchtar Husein, Drs. K.H. Sahbuddin, dan Dr (H) Mustafa Zahri." Waktu itu saya jawab spontan bahwa perlu dibedakan antara bertengkar dan berbeda pendapat. Bertengkar memang dilarang, tetapi berbeda pendapat justru
disyriatkan, seperti dikatakan al-Qardawi, الاختلاف المشروع والتفرق المذمومة، Perbedaan adalah sebuah kekayaan (al-zarwah) dan rahmat. Bahkan saya menyampaikan pada senior saya Asnawi M. Parampasi, "Memang jika gajah dengan gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah, tetapi jika ulama berbeda pendapat justru umat bisa menikmatinmanfaatnya." Setelah itu, saya datangi masing-masing Drs. K.H. Sahabuddin atau beliau sering ke rumah kos saya di Jalan Kumala untuk sekedar mendengar rekaman hasil diskusi, justru beliau bergembira sebab bisa hadir dalam diskusi dan men-sharing pengetahuannya ke masyarakat. Selama pembicaraan, beliau tidak pernah menyinggung perbedaannya dengan Drs. K.H. Mochtar Husein. Demikian sebaliknya saya juga selalu bertemu Drs. K.H. Mochtar Husein juga tidak pernah mempersoalkan perbedaan yang muncul dalam diskusi. Justru saya berpendapat bahwa mereka adalah guru yang sudah sampai pada maqam tertentu dari segi pengetahuan, bahkan keduanya menyikapi perbedaan dengan arif selama perbincangan, sehingga dari keduanya saya bisa menarik pelajaran bahwa kemungkinan karena keduanya berangkat dari asal yang sama, dari lita pimbolongatta, Tana Mandar, dan memiliki organisasi yang sama. Ternyata setelah saya telusuri, yang salah paham adalah masyarakat di akar rumput. Mereka salah paham karena mereka belum terbiasa beda pendapat. Sebenarnya, perbedaan keduanya disebabkan karena beda sudut pandang, satu melihatnya dari sudut pandang filsafat dan yang lainnya dari sudut pandang tasawuf. Perbedaan karena beda sudut pandang, justru dianjurkan dalam rangka ber-fastabiqul Khaerat sekaligus bahagian dari sunatullah. Bahkan Syekh Yusuf al-Qardawi berpendapat, "Barang siapa yang berkeinginan agar semua manusia ke luar hanya dengan satu pendapat, maka beliau menegaskan, لم يكن وقوعه (tidak mungkin terjadi dalam realitas), sebab sama halnya menentang sunatullah," kata beliau. Antara ulama mazhab saja berbeda satu sama lain, tetapi mereka saling menghormati. Para sahabat Nabi saja berbeda-beda dalam memahami teks, Abdullah bin Umar berpendapat menyentuh perempuan membatalkan wuduk, berbeda dengan Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya. Namun keduanya saling menghargai dan keduanya adalah sahabat Nabi yang dicintai.1) Demikian halnya kedua guruku, keduanya berbeda, tetapi keduanya saling menghargai satu sama lain. Sedang yang berselisih adalah para pengikut mereka di akar rumput. Benarlah apa yang disampaikan Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, "Semakin tinggi ilmu seseorang berbanding lurus pada semangat toleransi pada perbedaan pendapat." Boleh jadi kedua mereka sudah sampai ke maqamat tentang nikmatnya perbedaan, sebab semakin banyak hikmah yang bisa diketahui. Akhirnya saya tutup dengan sebuah pernyataan Umar bin Abdul  Aziz, khalifah paling bijaksana pada Dinasti Umayah,
مايسرنى ان اصحاب رسول الله صلم لم يختلفوا لولم يختلفوا لم يكن لنا رخصة
Sungguh saya tidak gembira andai para sahabat Rasulullah saw. tidak berbeda pendapat. Andai mereka tidak berbeda, maka kami tidak akan mendapatkan rukhsah (tidak ada alternatif untuk memilih pengamalan agama yang lebih sesuai kemampuan).

Saya juga mendoakan karena keduanya telah mewariskan pada saya sesuatu yang sangat bernilai, yaitu bagaimana menikmati perbedaan. Itulah yang saya terapkan dalam memimpin DPP IMMIM yang anggotanya berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda-beda. Di sini justru saya ikut merasakan sebuah kenikmatan di tengah-tengah mereka. Sekarang kedua guruku sudah dipanggil Allah swt. ke sisi-Nya dan saya yakin mereka sedang menikmati amal kebaikan yang telah dilegacykan. Akhirnya, Terimalah doa kami, ya Rabbal Alamin!
اللّهُمَّ  اغْفِرْ لَهُما وَارحَمْهُما وَعَافِهِما
 وَاعفُ عَنْهُما
Wassalam, 
Makassar, 16 Februari 2021

1) lihat buku saya, Persatuan Umat dan Saling Memahami Perbedaan (2020).