Salah satu persoalan kota yang memerlukan perhatian serius adalah adanya anak jalanan (jalanan), gepeng (gelandang dan pengemis) dan Pak Ogah yang seringkali nongkrong dan berkeliaran di seputar lampu merah atau u-turn. Dalam sebuah tulisan tentang ini, Prof. Dr. Hamdan Juhannis pernah bertanya kepada para pembaca apakah pernah memberi uang kepada mereka?Jika pernah, apakah ini bermakna bahwa kita juga ikut andil dalam melestarikan kehadiran dan eksitensi mereka di jalan raya. Jika tidak pernah, apakah ini menunjukkan kekurangpekaan kita terhadap persoalan sosial?

Beberapa waktu lalu pemerintah kota Makassar bekerja sama dengan Dinas Pehubungan berencana akan mengintensifkan kembali Perda No 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anjal, Gepeng, dan Pengamen. Tidak tangung-tanggung, merujuk kepada Perda ini, siapa pun yang memberi uang akan dikenakan sanksi denda Rp. 1.5 juta (Lihat https://radartasik.com/beri-uang-di-jalanan-denda-rp-15-juta-menanti)

Pak Ogah adalah “polisi” tak bertopi yang selalu hadir di hampir setiap putaran (U-Turn) di Kota Makassar. Kian banyak putaran jalan, kian menumpuk pula kehadiran Pak Ogah. Kemunculan Pak Ogah seirama dengan bertambahnya volume kendaraan dan hadirnya median jalan. Di satu sisi, Pak Ogah bisa membantu, namun di sisi lain juga bisa mengganggu bahkan menebar ancaman bagi pengguna jalan.  Mereka sering menghambat laju perputaran mobil di pembelokan dengan cara berada di depan mobil atau berdiri di  sisi kanan  dekat pintu sopir. Kenapa di sisi kanan mobil, bukan di sisi kiri untuk membantu menghentikan laju mobil/motor yang berada di sisi kiri. ? Jawabnya sederhana karena “cepe”.

Kehadiran komunitas itu cukup kontroversial, di satu sisi ada yang berikiran pragmatis. “Yaa.. daripada mereka mencuri atau merampok, lebih baik mencari uang di jalan” namun di sisi lain, Peraturan Pemerintah Daerah Kota Makassar nomor 2 tahun 2008 melarang memberiuang dijalan sebagaimana tercantum dalam pasal 49 ayat  (1) berbunyi: Setiap orang atau kelompok orang tidak dibenarkan memberi uang atau barang kepada anak jalanan, gelandangan, pengemis atau pengamen.. dan (2) Setiap orang atau kelompok orang dilarang menggunakan jalan untuk keperluan tertentu di luar fungsi jalan yang dapat mengganggung keselamatan, keamanan dan kelancaran lalu lintas. Lalu kenapa fenomena sosial ini tidak dapat dihapus? Disamping adanya kesan “pembiaran’ juga karena memungut uang di jalan lebih menjanjikan.

Menurut catatan salah satu Koran di Makassar,  pendapatan Pak Ogah, misalnya di  Jl Hertaning Raya, tepatnya di depan SPBU Hertasning dan depan kantor PT Perum Perumnas Regional VII Makassar mencapai Rp 200 ribu sehari atau setara Rp 6 juta sebulan. Itulah sebabnya kemunculan Pak Ogah seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, mulai dari anak-anak, para remaja, dewasa hingga orang tua, umumnya mereka berjenis kelamin laki-laki.

Melihat aktivitas Pak Ogah di jalan raya, “tampak” mereka seperti membantu proses berlalu lintas, namun jika ditelaah lebih dalam, kehadiran mereka terkadang justeru menyebabkan kemacetan. Untuk membuktikan hepotesis tersebut, saya sengaja melakukan tiga kali survey di pertigaan jalan Monumen Emy Saelan dan Sultan Alauddin yang sering dilanda kemacetan, dan  satu kali mengamati langsung di depan Telkom Jl. AP. Peterani serta dua kali melakukan pengamatan di Jl. Hertasning, dekat kantor Dinas Pendidikan. Khusus di Jalan Momumen Emy Saelan, saya berkesimpulan bahwa keberadaan pak Ogah justeru membuat terjadinya kemacetan di pertigaan tersebut. Pak Ogah hanya memperhatikan pengendara yang mau masuk dan keluar dari dan ke Jl. M. Emy Saelan, lalu menyetop lebih lama mobil yang datang dari arah lainnya. Efeknya,  terjadi penumpukan kendaraan di sepanjang jalan Sultan Alauddin. Kemacetan itu sejatinya tidak terlalu parah jika Pak Ogah bisa berlaku adil, yaitu dengan memberi hak dan ruang yang sama kepada semua pengendara, seperti apa yang dilakukan oleh Polisi. Akan tetapi, karena  adanya  “pemberian”  maka pengendara yang lain dikorbankan.

Pengamat Perkotaan  Tubagus Haryo Karbyanto menyatakan  kehadiran Pak Ogah di  di sejumlah kota-kota besar di Indonesia akibat tidak adanya sistem manajemen lalu lintas yang jelas. Pengelola kota seenaknya saja membuat rambu putaran di sejumlah titik tanpa melihat efektif atau tidaknya pemasangan rambu putaran kendaraan tersebut. Makin banyak rambu putaran kendaraan maka dipastikan akan banyak titik kemacetan arus lalu lintas, dan ini merupakan peluang bagi hadirnya Pak Ogah. Mereka hadir karena keterbatasan petugas yang mengatur arus lalu lintas.  Di balik semua itu, fenomena Pak Ogah perlahan tetapi pasti akan menjadi ladang pekerjaan yang akhirnya  'melembaga'. Remaja lebih suka mengumpulkan rupiah demi rupiah (cepek) daripada pergi sekolah. (Norman Mouko:2012)

Dari sudut kultural, memberi Pak Ogah bisa melembagakan budaya suap di tengah masyarakat, sedangkan perspektif agama, memberi pada tempat yang tidak tepat bisa tidak bernilai ibadah atau amal saleh, apalagi tidak disertasi dengan keikhlasan.

 

Peradaban Kota

Peradaban sebuah kota dapat dilihat di antaranya pada tata cara beralu lintas. Di sinilah perilaku manusia dilihat, apakah mereka layak disebut sebagai masyarakat yang berberadaban tinggi atau tidak. Pengalaman penulis ketika di Jepang menunjukkan betapa negeri ini sangat menghargai sistem berlalu lintas. Ketika saya diajak oleh Mrs Iwashita berjalan-jalan di kota Jepang, mobilnya tidak pernah keluar dari batas jalan yang hanya digaris oleh warna putih. Menurutnya, pengemudi baru boleh pindah jika sudah menemukan garis putus-putus. Demikian pula para pengguna jalan harus menyebarang di zebracorss yang telah ditentukan, Di setiap persimpangan selalu ada polisi yang menjaga, jika tidak ada polisi sekalipun, masyarakat saling mengerti dan menghargai satu sama lain sebagai pengguna jalan. Karenanya, di Jepang tidak ada Pak Ogah.

Bandingkan dengan kota kita, pengendara motor terkadang seenaknya menelikung mobil yang kita kendarai, penumpang mobil juga begitu leluasa melempar kulit jagung di jalan raya. Penguasa jalanan seperti pengantar jenazah seringkali menebar teror bahkan melakukan aksi anarkis terhadap pengendara lain yang tidak sempat menyingkir. Angkot “Pete-Pete” tiba-tiba berhenti dan Pak Ogah berdiri di mana-mana untuk “mengatur” jalan raya.

Makassar sebagai kota besar, menjadi tujuan wisata dan menjadi pintu gerbang perdangangan di wilayah Indonesia Timur harus mampu menghadirkan konsep “peradaban” dalam arti sesunguhnya, bukan saja sebatas bebas dari sampah, tetapi bebas dari kemacetan dan ketidaknyamanan ketika berada di jalan raya.