1. Inklusifisme dan Menjauhi Sektarinisme, serta Berani Menembus Batas.

Di Perguruan Tinggi Maju yang saya saksikan, seperti di Leiden University atau Universtas Hasanuddin mulai berpikir universal. Pikiran dari mana pun diperkenalkan atas relevan, seperti plato dan Ibn Khaldun, tanpa ada sekat-sekat paham, demikian pula di Unversitas Hasanuddin, saya kenal karena beberapa kali dipakai menguji. Sebaliknya ada yang melarang membaca buku walau sesama muslim, karena beda aliran, misalnya. Saya pernah dilarang mengutip pendapat Tabatabai karena beliau berpaham Syiah. Saya juga pernah dilarang mengutif pendapat Firanda yang berpaham Wahabi. Bagi saya pendapat dari aliran mana pun bisa dikutip asal relevan.

Sebenarnya Iman Syafii pernah memperkenal pandangan tembus batas, yaitu,
والله لا ابالى ان يظهر الحق بلسانى او بلسان خصممى
(Demi Allah, saya tak peduli, apakah kebenaran itu keluar dari lisanku atau lisan orang lain).

Imam Syafii berpendapat bahwa Islam sangat adaftif dalam masalah kebudayaan yang sangat tergantung pada waktu dan tempat. Karena itu Imam Syafii, mengubah fatwanya setelah pindah dari Bagdad ke Mesir. Sehingga ada fatwanya disebut gaulil qadim (pendapat lama) ketika di Mesir diubah menjadi qaul jadid (pendapat baru).

Beliau juga menfatwakan bahwa jika terjadi transaksi dua orang harus berada dalam satu ruangan dan saling menyaksikan. Andai beliau masih hidup sampai sekarang dan berada di Makassar akan menyaksikan orang melakukan transaksi lewat internet dengan memakai HP.  Andai kata Imam Safii hadir di Makassar saat ini, pasti akan memperbaharui fatwanya dengan qaul Makassary, yaitu transaksi lewat HP.

Di sinilah keidah usul berbunyi: 
تغير الأحكام بتغير المكان و الزمان.
Wasalam,
Kompleks GPM, 17
Apri 2023 M/26 Ramadan 1444 H