Wellington - Materi pada hari keempat adalah isu yang terkait dengan "managing political interface," mengelola temu pandang atau pertautan politik. Materinya disampaikan oleh Hon. Paul Swain, Politisi Partai Buruh dan Mantan Menteri Transportasi New Zealand pada masa pemerintahan Helen Clark, Perdana Menteri yang sangat legendaris. Mungkin dalam tradisi lokal masyarakat kita bisa disebut "Musrembang" atau "Tudang Sipulung".
Saat dia mendefenisikan "interface" saya menawarkan kata yang lebih simpel "dialogue" dan dia setuju. Tapi menurutnya, interface lebih dari sekadar dialog, karena lebih kepada pertukaran informasi antara pengambil kebijakan dan pengguna dengan ragam tingkatan dan kepentingan.
Yang menarik pada sesi ini bagaimana relasi kuasa dan koneksi dimaksimalkan untuk kepentingan orang banyak. Menurutnya, itu adalah kunci utama berhasilnya sebuah dialog.
Lalu Paul menjelaskan bahwa prinsip utama untuk terjadinya temu pandang politik adalah fokus pada penyelesaian masalah bukan pada orang. Dialog untuk penyelesaian masalah itu sejatinya dimulai pada orang-orang kunci yang diyakini memahami dengan baik masalah yang akan didialogkan.
Paul membagi bagaimana Seorang Menteri sebagai penggagas kebijakan yang akan dieksekusi oleh Chief Executive (Direktur Jenderal), harus dimatangkan terlebih dahulu sebelum sampai pada ruang temu pandang dengan pengguna (masyarakat umum). Paul melihat bahwa semakin sering pertautan ruang publik dilakukan, maka tingkat penerimaan sebuah kebijakan publik semakin tinggi.
Saat dia bertanya, apakah model "interface" seperti itu terjadi di negara masing-masing peserta? Peserta dari Kamboja yang merupakan Sekertaris Dewan Nasional Pembangunan Kamboja mengatakan, bahwa apa yang dijelaskan itu adalah terjadinya dialog dua arah, sementara di negaranya lebih kepada satu arah.
Menurut peserta itu, bahwa di negaranya Menteri sangat powerful, Dirjen juga powerful dan kebijakan itu diambil dengan cara "top down". Saya juga ikut bersuara dengan mengambil contoh negara saya. Saya mengatakan bahwa di negara saya, Indonesia, adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Demokrasi di mana kebebasan berpendapat dihargai terjadi begitu masif. Lalu saya mengatakan peran publik bukan lagi di meja perundingan atau dialog, tetapi melalui media sosial. Sekali seorang pengambil kebijakan melemparnya di publik dan kurang berkenan di mata publik medsos, maka kritik di media sosial bisa sangat masif dan membahana.
Paul sangat setuju dengan fenomena "interface" sekarang ini dengan adanya sosial media, namun dia mengatakan kelemahan pada wadah media sosial bisa saja melibatkan subjektifitas apakah karena terjadinya apriori atau pemahaman sepihak dan lemahnya peluang dialog dengan kepala dingin.
Yang juga menarik dari peran temu pandang ini adalah rencana kompromi yang harus disiapkan dalam pengambilan kebijkan. Saya lalu mengatakan bahwa temu pandang politik itu adalah cara yang sering digunakan untuk penyelesaian konflik. Konflik itu sebaiknya berujung dengan kompromi, win-win solution, fifty-fifty, yang artinya bukan 70:30.