Setiap kali menyambut tahun baru, khususnya Tahun Baru Hijriyah, kita senantiasa mengintropeksi diri dan berharap agar aktivitas hari ini dan hari esok lebih baik lagi dari hari kemarin.

Harapan dan doa tersebut harus senantiasa dijaga dan setiap diri kita sangat optimis dengan apa yang dicita- citakan dan didambakan. Untuk meraih hal tersebut, maka di antara yang paling bijak untuk dilakukan adalah agar kita senantiasa mengintropeksi diri sendiri.

Cak Nur (Allahummagfir lahu) pernah menulis. Kebiasaan adalah watak kedua. Oleh karena itu, harus waspada terhadap kebiasaan kita atau sikap pembiasaan diri. Sebab jika suatu kebiasaan telah tertanam sedemikian rupa kuatnya dalam diri kita, maka dia akan menjadi bagian dari kedirian kita dan kepribadian kita. 

Saking pentingnya kebiasaan dan "pembiasaan" tersebut, maka Nabi saw., berpesan agar kita membiasakan diri berbuat baik, " meskipun sekadar berwajah cerah ketika bertemu seorang saudara," atau "meskipun sekedar menyingkirkan duri di jalan". Mungkin terpikir oleh kita bahwa menunjukkan wajah yang cerah pada saat bertemu teman adalah pekerjaan "ringan" atau malah "remeh". Terapi, sesungguhnya, sebagai suatu kebaikan, pekerjaan kecil tersebut memiliki sangkutan dengan perkara besar dan penting, yaitu komitmen batin kita kepada kebaikan.

Seseorang yang "memerlukan" untuk menunjukkan wajah gembira saat bertemu teman adalah orang yang dalam jiwanya tertanam rasa cinta kasih kepada sesamanya, sejalan dengan ucapan salam. Dan hanya orang dengan komitmen batin kepada nilai kemanusiaan itu yang bersedia membungkukkan punggungnya untuk memunggut duri dari tengah jalan. Sebab dalam jiwanya ada keinginan yang sejati untuk menyelamatkan orang lain dan mencegahnya dari kecelakaan. Jika komitmen tersebut tertanam kuat, dan kebiasaan berbuat kebaikan betapapun kecilnya, telah mengakar dalam jiwa, maka akan tumbuh "watak" kebaikan. Baginya berbuat baik bukan menjadi beban, melainkan menjadi sesuatu yang menyatu dengan dirinya. Allah swt., berfirman dalam Q. S. 92: 5-7.


Sebaliknya mereka yang berkecenderungan jahat, oleh Allah swt., akan dimudahkan menuju kesulitan. Q. S. 92: 8-10. Artinya, antara lain orang itu akan kehilangan kesadaran bahwa dia berbuat jahat, karena perbuatan tersebut telah menjadi "watak"nya yang kedua. Lebih buruh buruk lagi, dalam kebiasaan pertumbuhan jahat yang dilakukan, orang tersebut mungkin tidak saja kehilangan kesadaran akan kegiatan jahatnya, malah justeru melihat perbuatan jahatnya sebagai kebaikan. Allah swt., mengingatkan kita semua dalam Q. S 35: 8. Oleh karena itu, mari senantiasa mawas diri menuju hari esok yang lebih baik.


Allah A'lam
Makassar, 30 Juli 2022