Gambar kisah-pejuang-garis-merah-0525.jpeg

Sore itu langit tampak teduh, seperti tahu bahwa akan hadir kisah yang tak biasa. Di poli kebidanan Klinik tempat saya bertugas, datanglah seorang wanita dengan senyum merekah dan perut yang membuncit—sekilas seperti usia kehamilan 7 bulan.

“Assalamualaikum, Bunda. Silakan duduk ya,” sapaku hangat seperti biasa.

“Waalaikumussalam, dok. Saya kemarin coba testpack dan hasilnya dua garis merah. Akhirnya dua garis setelah menanti... 12 tahun.”
Kalimatnya menggantung di udara, tapi matanya penuh cahaya harapan.

12 tahun.
Bukan waktu yang sebentar untuk menanti kehadiran seorang anak. Ini bukan sekadar garis di testpack—ini garis harapan, garis kesabaran, garis cinta yang tak putus-putus dipanjatkan dalam sujud panjang dan doa-doa lirih di sepertiga malam.

Sayapun melakukan USG .....
Dan benar saja, janin usia 12 minggu, dengan detak jantung yang lincah dan semangat hidup yang membuncah. Tapi tunggu... ada yang lain.

Di layar USG itu, bukan hanya janin yang tampak. Ada ‘rombongan’ ikut nebeng di rahim sang ibu. Tumor. Banyak.
Besar dan kecil, seperti sedang mengadakan reuni keluarga. Yang paling besar, sekitar 15 cm, nongkrong santai di fundus. Mungkin itu biangnya.

“Ya Allah,” batinku.
Mungkin inilah sebab dari 12 tahun penantian itu. Kehamilan dengan fibroid (mioma) seperti ini bukan tanpa risiko: keguguran, persalinan prematur, bahkan gangguan pertumbuhan janin.

Saya menatap wajah sang ibu. Masih cerah, masih penuh harap.
“Doa adalah senjata seorang muslimah. Teruslah jaga pola hidup sehat. Kurangi gula ya, Bu. Gula itu makanan favorit tumor. Kalau mereka dikasih gula, mereka kayak pesta pernikahan, joget-joget,” kataku sambil tersenyum.

Beberapa bulan berlalu. Waktu itupun tiba.
Saatnya operasi seksio sesarea sekaligus miomektomi.
Dan saat saya membuka dinding perutnya, saya sempat terdiam.
Secara medis, secara logika, secara buku-buku tebal kedokteran—wanita ini tidak mungkin hamil.
Rahimnya penuh dengan tumor.
Tapi di sanalah, bayi mungil itu hadir—hidup, bergerak, menangis sehat, seolah berkata:
“Logika kalian boleh bicara, tapi kehendak Allah-lah yang menentukan.”

“Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau menganugerahkan keduanya, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(QS Asy-Syura: 49–50)

Dalam ruang operasi itu, kami menyambut bayi... dan “kembarannya”.
Yang satu menangis keras, yang lain diam—tumor-tumor itu pun ikut “lahir”, satu per satu ( mirip seperti bakso bom raksasa 1 porsi jika dituangkan ke mangkok