KHAZANAH SEJARAH:
PROF. DR. JALALUDDIN RAHMAN YANG SAYA KENAL (2)
by Ahmad M. Sewang 

Kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan perspektif lain. Perspektif lain bukan pendapat Asy'ariah atau Mu'tazilah, melainkan kombinasi dari dua pandangan teologi itu dalam Islam itu. Pandangan inilah yang saya coba bangun dan juga sudah pernah dikemukakan oleh almarhun Prof. Dr. Hamka dalam bukunya, "Pelajaran Agama Islam." Buku itu walau buku lama, tetapi sewaktu-waktu saya membacanya.

Prof. Hamka kelihatannya juga tidak ingin menyalahkan antara kedua aliran teologi yang berbeda: Qadariah yang banyak nuansa persamaannya dengan Mu'tazilah dan Jahamiah yang sepandangan As'ariah sekalipun keduanya bertolak belakang pada pandangan kedua aliran teologinya. Hamka justru menerima keduanya dalam kondisi tertentu, beliau memakai As'ariah dan dalam kondisi tertentu pula beliau memakai aliran Mu'tazilah. Hamka mengakui keduanya karena keduanya berpedoman kepada kitab suci Alquran dan hadis, bahkan almarhum cenderung mengkompromikan keduanya. 

As'ariah dan Jahamiah berpandangan bawa manusia tidak memiliki kuasa apa-apa sedikit pun. Penguasa sesungguhnya adalah Allah swt.  Manusia bagai kapas yang diterbankan angin, ke mana pun angin berhembus kesanalah kapas terbawa. Kaya-miskin atau cerdas-dungunya seseorang tergantung sepenuhnya pada kehendak Allah swt. Jahimiah mengutip firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah: 30, 
ان الله على كل شيء قدير
(Sesengguhnya Allah, berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.)

Berbeda dengan paham Qadariah dan Mu'tazilah yang lebih menghargai ikhtiar manusia, kaya dan miskin atau pintar-bodohnya seseorang sangat tergantung pada ikhtiar manusia sendiri. Menurut Hamka tidak boleh pertanggungjawaban itu diserahkan sepenuhnya pada Allah swt, sebab Dia telah memberikan kemampuan akal untuk berusaha pada manusia. Dalam hubungan ini, Mu'tazilah berpedoman pada QS  ar-Rad: 1,
...  إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ...
(... Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. ...).
Karena Mu'tazilah lebih menghargai kemampuan akal manusia, maka ia terkadang disebut aliran rasional dalam Islam.

Prof. Dr. Hamka berusaha merangkum kedua aliran ini dengan tak ada satu pun yang perlu dibuang dengan berkata, "Jika ada orang yang menepuk dada dengan berpendapat secara berlebihan bahwa semua perolehan yang didapat adalah atas usahnya sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan, maka ingatkanlah orang itu tentang ayat-ayat kekuasaan Tuhan yang jadi pegangan Jahamiah atau As'ariah. Sebaliknya jika ada orang pemalas, hanya tinggal berpangku tangan dan ongkang-ongkang kaki menunggu nasib, maka ingatkanlah orang ini ayat-ayat ikhtiar yang jadi pegangan Qadariah atau Mu'tazilah sehingga ia bersemangat untuk berusaha.

Masalah ini telah jadi peroblem sejak periode klasik Islam dan berlangsung sampai sekarang. Sejak zaman awal Islam, perbedaan antara Imam al-Gazali dan Ibn Rusyd berkisar pada masalah ini. Salah satu di antaranya adalah masalah hukum kuasa Tuhan dan ikhtiar manusia. Menurut al-Gazali, "Api membakar karena kuasa Allah swt. Sedang menurut Ibn Rusyd bahwa api membakar karena di dalam api itu ada semacam zat yang bisa membakar."

Suatu malam saya kontak Prof. Jalaluddin Rahman tentang pandanganya menyangkut doa. Bagi Jalaluddin Rahman doa hanya bermanfaat sebagai penyadaran jiwa, walau demikian tetap mendapatkan pahala karena perintah Allah swt. tetapi doa tidak bengaruh untuk mengubah realitas yang bisa mengubah harus tetap dengan usaha. Pandangan semacam ini sama persis yang diajarkan Prof. Harun Nasution di PPs Jakarta selama dua semester. Kelihatannya itulah diperpegangi Prof. Jalaluddin Rahman di atas. Memang kami bersama mempelajari teologi di Jakarta, tetapi beliau masih berlanjut lewat penelitian disertasi. Karena itu, saya menganggap dialah lebih mendalami paham teologi Mu'tazilah dan sebagaimana saya tulis di atas saya sangat menghormati paham ini sebagai bagian dari khazanah pengetahuan Islam. Sekalipun demikian, saya lebih menerima paham kompromi yang diperpegangi oleh Prof. Hamka. Kenapa bisa terjadi perbedaan? disebabkan karena perbedaan penafsiran, sedang perbedaan penafsiran kita tidak berhak menyalahkan walaupun kita bisa saja tidak sependapat. 

Satu hal yang menarik dalam pembicaraan dengan Prof. Jalaluddin Rahman via telepon bahwa beliau legowo dan siap untuk berbeda bagi orang yang menganut paham As'ariah. Ini sebuah contoh positif untuk saling menghargai perbedaan. Saya juga memotivasinya untuk menulis buku atau tafsir khusus teologi Mu'tazilah. Terus terang harus diakui bahwa kaum muimin masih sangat kekurangan dan miskin dalam paham Mu'tazilah. Penulisan buku Mu'tazilah dimaksudkan untuk membiasakan perbedaan dikalangan kaum muslim juga untuk memperkaya khazanah pengetahuan Islam. Menghormati perbedaan sebagai tangga utama menuju persatuan umat. Jika umat bersatu banyak masalah umat akan selesai dengan sendirinya. Wallahu A'lam.

Wasalam,
Makassar, 4 April 2022