Gambar kehamilan-viral-0525.jpeg

Malam ini gaduh di Klinik tempat aku bertugas.. Datang segerombolan orang—seorang ibu, seorang anak perempuan usia 15 tahun, dan beberapa kerabat yang tampak cemas tapi juga seperti ingin tahu lebih banyak daripada perlu tahu.

Anak itu wajahnya polos. Matanya sembab. Tubuhnya kecil, kurus tapi perutnya besar, menonjol seperti kehamilan trimester akhir.

Sang ibu bicara dengan suara pelan tapi tajam, menahan malu dan marah.

“Dok, tolong periksa anak saya. Dia tidak mau mengaku. Tapi saya yakin, dia hamil. Lihat saja perutnya. Kami sekeluarga malu, sekampung udah ribut. Gosipnya ke mana-mana. Saya ndak kuat, Dok…” Pihak sekolahpun sudah bertanya2 Dok.

Saya menoleh ke anak itu. Ia menunduk. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang pelan-pelan jatuh ke pipinya.

Saya tenangkan ibunya, lalu minta izin untuk memeriksa sang anak secara pribadi. Saya mulai dengan anamnesis. Ternyata haidnya masih teratur. Tidak ada riwayat mual, tidak ada hubungan seksual, tidak ada tanda-tanda kehamilan lainnya.

Saya lanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Teraba massa kistik. Besar. Dan akhirnya, saya lakukan USG.
Tampaklah di layar,  sebuah kista ovarium berukuran 20 x 20 cm. Bukan janin. Bukan rahim yang membesar karena hamil. Tapi tumor yang telah diam-diam tumbuh dan membentuk persepsi buruk di mata dunia luar.

Saya sampaikan hasilnya dengan lembut. Anak itu langsung menangis.

Saya tidak tahu, apakah tangisnya karena lega—karena akhirnya terbukti ia suci dan tidak bersalah. Ataukah karena sedih—menyadari bahwa ia menyimpan tumor besar dalam tubuhnya selama ini tanpa ia mengerti.

Sang ibu tercekat. Tak berkata-kata. Wajahnya pucat. Di antara rasa lega dan malu, saya bisa melihat air mata penyesalan menggantung di sudut matanya.

Dan yang saya pikirkan saat itu: ini bukan hanya tentang tumornya. Ini tentang luka sosial  yang lebih besar.

Zaman Sekarang, Kebenaran Tidak Lagi Diuji. Tapi Diframing.

Kita hidup di masa di mana orang bisa dihukum sebelum terbukti bersalah. Dimana orang bisa dijatuhkan hanya karena tampilan luarnya. Dimana gosip lebih cepat menyebar daripada klarifikasi. Di mana “viral” lebih dipercaya daripada “verifikasi.”

Dulu, kebenaran dicari dengan ilmu, diuji lewat data, disampaikan dengan hati-hati dalam jurnal, seminar, dan diskusi ilmiah. Sekarang, cukup satu postingan tanpa konteks, satu video yang dipotong, satu komentar tajam dari akun anonim—maka satu nama bisa hancur.

Dan ini bukan hanya terjadi pada anak perempuan polos tadi. Ini terjadi juga pada profesi dokter, perawat, bidan atau pada institusi pendidikan, ataupun pada siapa saja yang mudah jadi korban framing.

Ghibah dan fitnah sekarang sudah naik kasta.
Bukan lagi bisik-bisik di dapur. Tapi unggahan di media sosial. Disukai, dikomentari, diviralkan. Padahal substansinya tetap sama: membicarakan keburukan orang lain tanpa tabayyun. 

Rasulullah SAW sudah mengingatkan:

“Akan datang masa penuh tipu daya. Di mana orang jujur didustakan, pendusta dipercaya, amanah dikhianati, dan pengkhianat diberi kepercayaan. Dan yang bicara adalah Ruwaibidhah.”
(HR. Ahmad)

Kita sudah hidup di masa itu.

Lalu bagaimana solusinya?

Tabayyun. Klarifikasi sebelum menyebar. Tahan lidah dan jempol dari keinginan untuk jadi “yang pertama tahu atau seolah2 tahu*
Menahan diri adalah sikap paling bijak.

Di akhir zaman, menjaga kebenaran adalah bentuk jihad.
Dan menahan diri dari ghibah—sekalipun itu tampak seru dan “viral”—adalah bentuk ibadah yang sering terlupakan.