Saya mencoret ini, karena desakan banyak pembaca, perlunya mengulas laki-laki. Saya sebenarnya kurang bahan tentang ini, mungkin karena pertama, saya laki-laki, saya tidak bisa melihat jenis saya dengan utuh. Istilahnya "inside the frame". Kedua, mungkin juga saya menjadi bagian dari banyak laki-laki, suka bingung menggambarkan jati dirinya.
Karena desakan supaya ada perimbangan pembahasan tentang dua jenis kelamin, saya mencoba meraba poin yang bisa dibentangkan. Saya mulai dengan bagaimana sikap yang secara umum ditampilkan laki-laki dalam relasi suami-isteri.
Ada riwayat bahwa seorang sahabat pernah malam-malam mendatangi khalifah Umar bin Khattab. Sahabat itu ingin datang curhat dan meminta nasehat kepada Khalifah karena hampir setiap saat dimarahi isterinya. Saat dia sudah tiba di depan rumah Khalifah Umar, sahabat mendengar dari luar kalau Khalifah Umar sedang dimarahi oleh isterinya. Rupanya Khalifah curiga kalau ada orang yang mau masuk ke rumahnya.
Khalifah Umar pergi membuka pintu, dan menemukan sahabat di luar yang beranjak pergi. Khalifah bertanya mengapa tidak masuk? Sahabat itu menjawab, mohon maaf saya tadi rencana untuk meminta nasehat, tetapi saya sudah tahu jawabannya.
Para pembaca, yang ditangkap dari riwayat itu bahwa sekuat-kuatnya laki-laki di hadapan orang lain, tetap nihil kekuatan di hadapan perempuan. Siapa meragukan keperkasaan Khalifah Umar. Siapa menyangsikan keberaniannya berhadapan dengan musuh. Semua memahami jejak ketangguhan Umar di medan perang, sampai digelari "Singa Padang Pasir."
Tetapi malam itu menjadi jawaban penyejuk bagi sahabat yang datang malam itu tapi tidak jadi masuk, bahwa dimarahi isteri sesuatu yang wajar dan selayaknya diterima saja sebagai pewarna hubungan suami-isteri. Karena jangankan dirinya yang tidak dikenal pemberani, Khalifah Umar saja yang dikenal tidak duanya dalam keberanian "tidak berdaya" saat dimarahi oleh isteri.
Dalam riwayat lain, Saat khalifah Umar bertemu dengan sahabat itu, dia ditanya mengapa malam itu diam saja saat dimarahi oleh isterinya. Umar menjawab bagaimana dia bisa marah pada orang yang menjadi sumber kebahagiaannya. Isterinyalah yang mengandung anak-anaknya. Isterinya yang melahirkan dan menyusui mereka. Isterinya yang memasakkan makanan buatnya. Dan Isterinya yang mencucikan pakaiannya.
Dari jawaban Khalifah Umar ini kita bisa melihat keunikan laki-laki, kemampuan untuk memetakan potensi konflik. Kemampuan itu tercipta karena secara umum meskipun laki-laki sedang emosi, rasionya masih bekerja secara optimal. Seorang kawan bahkan menganggap bahwa bila laki-laki mengambil posisi selalu meminta maaf itu bagian dari seni memimpin sebagai kepala keluarga. Meminta maaf itu lebih pada motivasi untuk selalu membahagiakan isteri.
Rasionalitas laki-laki adalah kesadaran bahwa takdirnya hidup untuk dimarahi. Saat kecil dimarahi orangtua, saat sekolah dimarahi guru, saat bekerja dimarahi atasan, dan saat di rumah dimarahi isteri. Tua dimarahi anak cucu, mati bisa saja dimarahi malaikat.
Bahkan laki-laki itu "melawan" kodrat kelaki-lakianya demi membahagiakan perempuan yang dicintainya. Teman saya yang ahli bahasa mengurai bahwa Bahasa Arabnya "laki-laki" adalah: "rajulun". Dan ternyata Bahasa Arabnya "kaki," adalah "rijlun," yang berasal dari bentukan kata yang sama. Jadi laki-laki identik memang dengan jalan, keluar, pergi, yang menjadi pekerjaan kaki. Tapi banyak suami memilih untuk tidak selalu jalan, keluar atau bepergian karena ingin sering bersama dengan isterinya.
Di sisi lain suami sangat memahami "kodrat" isteri sebagai perempuan. Perempuan dalam Bahasa Arab disebut: "mar'atun." Ternyata Bahasa Arabnya cermin adalah: "mir'atun." Kedua bentukan kata ini berasal dari sumber kata yang sama. Artinya perempuan itu identik dengan cermin. Perempuan memang tempatnya bersolek, bergaya, atau mempercantik diri. Suami menyadari kodrat kewanitaan isterinya, dan jadinya bekerja siang malam untuk membiayai biaya kecantikan isterinya.
Salah satu ketegaran suami adalah tidak pernah tersinggung saat dibully sebagai "suami takut isteri". Ketidaktersinggungan suami itu didasari oleh logika penghargaaannya kepada isteri yang banyak berkorban setiap saat untuk dirinya.
Titik temu dari keunikan ini ada pada saling meyelami kodrat dan membangun sifat toleransi terhadap perwujudan kodrat itu. Kodrat itu berwujud dalam bentuk keunikan prilaku. Pemahaman terhadap keunikan itulah yang bisa membuat semakin erat pegangan tangan suami-isteri saat bergandengan menuju ke mall menjelang lebaran, sebagai pertanda harmoni. Bukan suami yang memegang erat tangan isterinya saat berada di mall untuk mencegahnya masuk belanja ke mana-mana. Itu namanya laki-laki yang belum memahami keunikan perempuan.