"The Righteous Mind," sebuah buku best seller karya Prof. Jonathan Haidt yang sudah berkali-kali cetak. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Saya sendiri belum memegang versi aslinya. Sampul dan halaman-halaman pentingnya beserta lembaran kesimpulannya dikirimkan di group WA oleh Dr. Laode M.Syarif (Direktur Eksekutif Kemitraan, juga pernah menjadi Wakil Ketua KPK).
Agak berat membaca poin-poin kesimpulannya, banyak kosa-katanya yang pelik, diperparah oleh pemahaman saya yang berkapasitas komputer pentium dua. Buku ini ditulis oleh Sosiolog berbasis kajian psiko- sosial. Mungkin lebih cepat dipahami mereka yang berlatar belakang Psikologi dibanding Sosiologi.
Yang menarik dari buku ini adalah pertanyaan reflektif yang tertera pada sampulnya: "Why Good People are Divided by Politics and Relegion" (Mengapa orang baik terpecah karena Politik dan Agama).
Saya menangkap beberapa kritik yang menarik dari buku ini yang relevan dengan situasi kekinian manusia. Pertama, manusia dipisahkan oleh kebenaran ganda dalam hidup mereka. Mereka memegang kebenaran mereka masing-masing yang sudah terbentuk dari dulu. Buku ini secara apik menyajikan apa yang menjadi kebenaran sebuah masyarakat tapi menjadi salah pada masyarakat yang lain.
Contoh ilustrasinya, seseorang mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Dia memiliki beberapa warisan. Saat dia meninggal, anak laki-lakinya mewarisi banyak, anak perempuannya mewarisi sedikit. Pada masyarakat India perilaku anak laki-lakinya dianggap benar, sementara pada masyarakat Amerika, itu adalah tindakan yang salah.
Contoh lainnya, seorang anak yang sudah berumur 25 tahun memanggil ayahnya dengan nama pertamanya. Prilaku pada masyarakat Amerika diterima, tapi pada masyarakat India sesuatu yang salah. Perbedaan dalam mempersepsi kebenaran ini mungkin semakin menarik kalau mencoba menarik garis perbedaan persepsi kebenaran masyarakat kita yang dilandasi ajaran agama dibanding dengan persepsi lakon masyarakat luar yang berwatak sekuler.
Yang kedua, buku ini menunjuk bahwa faktor yang membawa perbedaan tidak terlepas dari kecenderungan kehidupan manusia yang suka berkelompok, gambarannya adalah 90 persen seperti simpanse dan 10 persen seperti lebah. Kelompok itu terbiasa membawa doktrin kebenaran sendiri yang disebutnya sebagai fondasi moral untuk mempertahankan keutuhan kelompok itu. Dari mana doktrin itu dibawa? Didapatkannya secara alami seiring dengan pertumbuhan individualnya.
Fondasi moral itu awalnya berupa emosi dan intuisi. Intuisi itulah yang menjadi dasar kebenaran kelompok. Nalar itu hanya untuk melegitimasi kebenaran intuitif kelompok tersebut. Penalaran itu hanya untuk membumbuhi kebenaran intuitif yang sudah dipegag oleh kelompok itu sebelumnya. Argumentasi rasional kelompok hanya sebagai strategi untuk memperkuat fondasi moral yang sudah dipegangnya. Bukan mencari dalil menuju kebenaran, tetapi dalil itu yang menuesuaikan pada kebenaran yang dipegang. Disinilah inti yang menjadi sorotan mengapa orang-orang baik itu terbawa bahkan "terbutakan" oleh kelompoknya.
Menurut penulisnya, ini bukan sesuatu yang aneh, karena fondasi moral yang sudah terbentuk secara alami pada masyarakat dipegang secara berbeda oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Saya tertegun bahwa mungkin itulah yang membuat mengapa perbedaan itu bila terjadi cenderung semakin membesar, baik dalam tradisi berpolitik, maupun beragama.
Karena dalam tradisi masyarakat kita, lebih banyak tergerak untuk menguliti dan melihat secara hitam putih standar moral sebuah kelompok, bukan bertanya secara reflektif mengapa berada pada keyakinan standar moral tertentu, bukan lainnya. Mengapa sebuah kelompok lebih tertarik kepada fondasi moral yang bernuansa keadilan, bukan pada kerukunan.
Mungkin sama dalam tren berkomunitas masyarakat modern saat ini. Mengapa orang yang satu, menjadi anggota pejalan kaki, sementara yang satunya menjadi anggota pesepeda. Apakah harus berbeda? Pendekatan yang disodorkan oleh Jonatahn Heidth pada kesimpulannya adalah moral empati menjadi penentu untuk mencari titik temu. Mungkin keduanya perlu duduk bersama, untuk saling mendengar bahwa ternyata keduanya menyukai renang. Pada komunitas itulah mereka bertemu.
Meskipun Jonathan Haidt tidak menggunakan perspektif agama tertentu, namun saya ingin mengatakan bahwa bahasa emosi atau intuisi yang didahulukan dibanding nalar, sebenarnya itu tidak selengkap dengan ajaran agama tentang "fitrah" manusia. Manusia dilahirkan untuk bergerak pada titik nol kehidupan, kesucian diri, meskipun sekecil apapun dalam hati. Fitrah itu yang bisa mengarahkan seluruh potensi kemanusian kita yang mengkombinasikan hati (rasa) dan akal (rasio) untuk membangun masyarakat yang berspektif empatik. Itulah, dengan momentum Ramadan ini, saatnya kembali ke fitrah.