Riya, salah satu penyakit hati yang patut diwaspadai; sikap suka dipuji, menikmati pujian, mengharapkan penghargaan atau pengakuan dari kebaikannya. Riya adalah musuh keikhlasan. Sikap riya ini bisa menggerogoti siapa saja. Garis pembatasnya dengan ikhlas sangat tipis. Saking tipisnya, orang ikhlas sering dianggap riya, dan orang yang riya sering berkedok ikhlas.
Saya membahas penyakit hati yang berbahaya ini, karena dipicu oleh kultum Dekan Fakultas Sains dan Teknologi kampus kami, Prof. Muh. Khalifah, yang membahas tentang keikhlasan. Meskipun cerita yang disampaikannya sudah sering kita dengar, tapi ada baiknya kita ulangi lagi sebagai penyegaran.
Seorang santri yang membawa ubi kayu ke rumah kyainya karena baru saja datang dari kampung. Ubinya hasil dari kebun kecil yang dimiliki orang tuanya. Setelah dia masuk ke bagian dapur rumah kyainya, dia pamit. Nyai bertanya kepada kyai, apa yang diberikan santrinya itu atas kebaikannya membawakan ubi segar dari kampung. Kyai mengatakan tidak banyak yang dimiliki tapi ada satu ekor kambing di belakang rumah, berikan saja ke santri itu.
Saat pulang sambil menarik tali kambing pemberian kyai, santri itu bertemu dengan santri lain di jalan. Santri satunya bertanya dari mana dapat kambing. Santri itu menjelaskan kronologinya secara lengkap. Dan santri satunya menarik kesimpulan kalau bawa ubi saja ke kyai bisa dikasih kambing, bagaimana kalau bawa kambing, pasti dikasihnya sapi.
Dari hasil penalaran santri satunya, dia juga pulang kampung menyampaikan ke orangtuanya untuk meminta kambingnya yang bisa disedekahkan ke kyainya. Singkat cerita, setelah kambing itu diserahkan ke Kyai, Kyainya menanyakan kepada ibu Nyai, apa yang bisa diberikan ke santri itu atas kebaikannya memberikan kambing. Nyai mengatakan yang ada di rumah hanya ubi pemberian santri tadi. Jadi santri yang membawa kambing itu dapatnya hanya ubi kayu, bukan sapi seperti yang ada dalam skenario pikirannya.
Para pembaca, cerita inspiratif di atas menunjukkan bahwa pemberian santri yang pertama didasari oleh ketulusan hati. Dia membawa ubi bukan karena harga ubi itu atau karena motif lain, tapi murni dorongan batin untuk menghargai Kyainya. Namun ganjaran materialnya jauh lebih tinggi dibanding pemberian kepada Kyainya. Disitulah kekuatan keikhlasan, efeknya tidak tersentuh oleh hitungan matematis.
Sementara santri kedua, prilakunya murni ingin mendapatkan keuntungan material. Ada kalkulasi yang sangat matematis dari kebaikannya. Ada hitung-hitungan keuntungan yang melonjak dari kebaikannya. Ada skenario logis yang disusunnya sebagai dampak dari kebaikannya. Santri kedua ini sama sekali tidak memasukkan nilai ketulusan sebagai bagian terpenting dari kebaikannya.
Sekiranya santri kedua berpikir terbalik di luar nalar materialisnya, bisa saja hasilnya berbeda. Sekiranya santri kedua menyusun logika terbalik, kalau dirinya membawa kambing pasti akan mendapatkan yang lebih tidak bernilai secara material dari kyainya karena dirinya sudah dianggap kyainya sejahtera secara material. Mungkin hasilnya berbeda. Who knows!
Mengakhiri celoteh kali ini, saya juga ingin membuat pengakuan tentang sikap yang menjurus ke riya. Dua hari lalu, seorang sosok yang saya kagumi intelektualitasnya memberikan pujian atas coretan-coretan saya selama ini. Saya sangat menikmatinya, sampai saya bawa tidur. Pujian itu masih terngiang saat saya menulis "Jalan Tengah" edisi berikutnya.
Segera setelah saya mengirim tulisan saya menjelang subuh, ada dua respon pertama dari teman dekat. Yang satu langsung merespon dengan satu kata: "hambar". Teman yang satunya agak sopan: "dengan segala maaf, agak terasa dangkal dan hambar." Saat saya cerita ke seorang teman tentang kejadian itu besoknya, teman itu mengatakan: "Saya juga mau bilang seperti itu, tapi tidak enak." Yah, "the miracle of life". Kita belajar banyak tentang "the power of ikhlas". Saya baru saja belajar tentang "the broken power of riya"