Isi ceramah yang penuh tenaga. Itulah kesan saya, saat menyimak ceramah subuh beberapa hari lalu oleh seorang dosen senior yang memiliki latar belakang keilmuan non-keagamaan. Pak dosen itu mampu menjabarkan pesan-pesan Qur'an dalam bahasa yang sangat membumi. Kosa katanya sangat variatif dan mudah dipahami.
Ketika menyinggung tentang makna kesyukuran, beliau mengulas bahwa mengucapkankan "al-hamdulillah" saat mendapatkan rezeki, itu baru kesyukuran tahap awal karena sesungguhnya syukur itu ada pada aplikasinya dalam kehidupan. Pak dosen itu mampu secara kritis menyajikan prilaku manusia yang terkadang hanya mampu mensyukuri hal-hal yang tampak perlu disyukuri, misalnya: naik pangkat, pindah rumah baru, beli mobil impian.
Tapi menurutnya, pernahkah kita menyadari kejadian sehari-hari yang seharusnya patut disyukuri. Beliau mencontohkan misalnya, kalau ada bagian badan yang gatal, dengan refleks jari-jari kita mampu menggaruk titik gatal itu dengan tepat dan menghasilkan rasa nyaman. Sangat berbeda bila meminta tolong ke orang lain untuk menggaruknya, pasti mencoba beberapa kali untuk bisa sampai menyentuh titik gatal. Cara menggaruknya juga selalu tidak pas untuk kebutuhan mengurai perasaan gatal, kadang terlalu keras atau kadang asal menggaruk. Yang digaruk lebih banyak jengkelnya daripada senangnya.
Sama dengan menggaruk rambut yang gatal, akan menghasilkan kenikmatan tersendiri yang semuanya patut disyukuri. Sambil bercanda, pak Dosen itu mengatakan bahwa katombe-pun bisa menjadi wadah untuk menghadirkan rasa syukur, karena semua itu menjadi nikmat sehari-hari yang tidak mungkin untuk dihitung.
Saat mengulas tentang puasa yang menghasilkan kualitas hidup, beliau mencontohkan ragam kehidupan makhluk yang berpuasa untuk melakukan transformasi kehidupan. Yang menarik bagi saya, adalah contoh ayam betina yang mengerami telurnya yang juga meniscayakan ayam tersebut menahan makan selama mungkin, sambil bertahan mengerami telurnya supaya bisa menetas dengan kualitas kelahiran anak ayam yang sehat.
Lalu pak Dosen menyinggung bahwa semakin tidak disiplin ayam tersebut, misalnya keseringan meninggalkan telur eramannya, maka peluang adanya telur tidak menetas semakin tinggi, istilah Jepangnya menurut pak Dosen adalah: Amporo. Beliau bercanda, karena kata itu asli bahasa lokal. Saya sendiri tidak tahu Bahasa Indonesianya atau istilah untuk telur yang tidak menetas itu.
Jadi kualitas hidup itu bisa dilihat dari fenomena pengeraman ayam. Di sana ada puasa (menahan diri) yang menghadirkan kedisiplinan dan fokus. Sama halnya dalam melahirkan generasi, membutuhkan puasa menahan diri dari ragam variabel yang bisa mengganggu hadirnya generasi unggul, mulai dari menjaga karakter orangtua, sampai pada memperhatikan kehalalan asupan makanan. Dari analogi ini, tampak bahwa mengapa pada masyarakat lokal sering dipakai istilah "amporo" bila ada salah satu di antara bersaudara yang dianggap paling tidak siap bertarung dalam hidup.
Intinya, ceramah subuh Pak Dosen sangat inspiratif dan informatif. Sekiranya saya diminta untuk memberi masukan supaya ceramah berkualitas seperti itu bisa semakin laris tercerna oleh jamaah, masukan saya ceramahnya bisa dibagi menjadi beberapa tema, jadinya tematik, sehingga ceramahnya dibuat lebih singkat dan berseri. Karena menarik, panitia Masjid yakin akan mengundang lagi untuk menyimak tema-tema menarik lainnya.
Teringat pengalaman saya beberapa tahun lalu, saat menyampaikan ceramah subuh, sekitar 7 menit. Saat turun dari mimbar, jamaah selamati saya, sambil mengatakan bahwa ceramah saya luar biasa. Saya bingung dan bertanya apanya luar biasa. Jamaah serempak menjawab: Pendek!.