Saya menikmati betul kultum Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat kampus kami, Dr. Muhsin Mahfudz, dua hari lalu. Beliau memulai ceramahnya dengan kisah yang diangkat dari kitab Ibnul Jauzi, Uyun al-Hikayah, yang menceritakan perbincangan dua sahabat, Ibrahim dan Syiqaq.
Ibrahim bertanya kepada Syiqaq tentang pengalaman spiritual yang paling membekas pada dirinya. Syiqaq menjawab bahwa pernah suatu waktu berjalan di tengah terik padang pasir yang sangat melelahkan. Kebetulan dia menemukan pohon yang kurang rindang, singgahlah dia berteduh dan rebahan untuk mengurai kelelahannya.
Tiba-tiba dari atas ada burung yang jatuh yang tidak jauh dari dirinya. Saat dia mengamati mengapa dia bisa terjatuh, rupanya salah satu sayap burung tersebut patah. Sambil dia mengamati terkaparnya burung itu, tiba-tiba ada burung lain yang datang menyodorkan belalang kepada burung yang sayapnya patah tersebut.
Syiqaq begitu terperangah melihat fenomena itu. Syiqaq kemudian merenungkan hikmahnya bahwa betapa dalam kehidupan ini siapa saja makhluk, akan mendapatkan rezekinya yang sudah digariskan oleh Pencipta. Betapa burung yang tidak berdaya di tengah gurun, masih saja bisa mendapatkan rezeki belalang yang dibawakan tiba-tiba oleh burung lain.
Ibrahim merespon cerita Syiqaq dengan bertanya mengapa terkagum pada pada burung yang mendapat belalang itu, justeru bukan pada burung yang membawakan belalang. Syiqaq begitu kaget dengan pertanyaan Ibrahim yang tidak sempat dipikirkannya.
Menurut Dr. Muhsin, dua sahabat yang berdialog ini memiliki level spritualitas yang berbeda. Yang menyelami tentang burung yang mendapatkan belalang masih berada pada kesadaran internalisasi beragama, kesadaran tentang apa yang terjadi pada diri, penghambaan karena berkah, hidayah, kekuatan yang diberikan oleh Allah. Sementara yang satunya sudah berada pada aspek eksternalisasi diri, sebagai khalifah, sebagai manusia berdaya yang mampu membantu sesama dalam hal apa saja.
Hikayat di atas sangat cocok dikaitkan dengan pendakian spiritualitas kita di bulan Ramadan ini. Kita berpuasa untuk melatih kesabaran, kedisiplinan, kepedulian, dan kedermawanan diri. Itu masih sebatas internalisasi nilai puasa ke dalam diri.
Bagaimana mengeksternalisasinya? Menjadi manusia seutuhnya, nilai-nilai yang terinternalisasi itu bergerak keluar untuk membentuk keutuhan diri. Eksternalisasi nilai itu kemudian menghadirkan manusia yang dalam kehidupan sosialnya tanpa kepura-puraan, tanpa topeng, tanpa "make-up". Manusia yang "apa adanya" bukan "ada apanya".