Gambar jalan-tengah-16.jpeg

Kali ini tentang berbagi. Anda pasti biasa berbagi, berbagi apa saja, mulai dari berbagi hal-hal besar, berbagi takjil sampai berbagi masalah. Saya akan mengulas dua  tipe orang dalam berbagi, khususnya dari sisi argumen keikhlasan. 

Pertama, ada orang yang berbagi dengan cara demonstratif. Misalnya, dengan menunjukkan ke halayak atau secara terbuka bersedekah. Tujuannya bisa saja agar orang lain yang berlebih bisa mencontohi model kemurahan hati yang dilakukannnya. Atau bisa saja dia sudah terbiasa berbagi secara terbuka, tidak mempengaruhi tingkat keikhlasannya di depan Tuhan, apakah dia berbagi secara tertutup atau terbuka. Baginya, semua terpulang ke hati. 

Kedua, ada yang suka berbagi dengan tanpa pernah melakukannya secara terbuka. Untuk jenis ini, saya jelaskan agak panjang, karena saya mengenal baik seseorang yang masuk tipe ini. Dia melakukan ragam cara untuk mengaburkan identitasnya, karena pikirnya itu bisa menjamin tingkat keikhlasannya. 

Dia mengeluarkan zakat hartanya ke lembaga infaq dan sadaqah supaya penyalurannya tidak terkait langsung dengan dirinya. Dia juga suka memberi ke orang yang tidak dikenalnya secara personal, sepanjang  merasa orang itu layak dibantu. Tidak jarang juga berbagi kepada profesi yang dianggapnya perlu langsung dibantu. Misalnya, setiap memesan makanan melalui jasa pengantaran, pasti mereka tambahkan biayanya ke pengantar itu karena mereka menganggap bahwa  yang bekerja di sana pasti memiliki orang-orang yang tergantung pada dirinya. 

Dia juga jarang menawar saat membeli sesuatu di pasar tradisional. Menurut kawan lainnya, hampir tiap hari dia melakukan cara itu, berbagi ke orang tua yang sementara jualan  di pinggir jalan, memberi uang parkiran lebih pada tukang parkir yang berusia lanjut. Termasuk suka sekali memberi uang ke peminta-minta yang ada di lampu merah. Saat disampaikan kepadanya, bahwa itu adalah korban mafia perusahaan peminta-minta, dia hanya mengatakan, semakin anda rasional hidup, semakin susah kamu berbagi. Faktanya, anak-anak itu berada dalam kungkungan ketidakberdayaan. 

Ada lagi satu kebiasaanya, dia suka singgah di panti asuhan, menyumbang apa saja; mulai beras sampai ikan kering. Saya masih ingat, Ketika film "Melawan Takdir" (Film dari Otobiografi saya) tayang di bioskop, dia diminta untuk membiayai anak-anak panti asuhan untuk menonton film itu. Dia tidak tertarik. Dia hanya simpel mengatakan, anak itu butuh makan, bukan butuh menonton film. 

Saat didebat, bahwa anak-anak ini harus diberi motivasi untuk merubah diri mereka, dengan cara memperlihatkan contoh konkrit orang seperti mereka  yang berjuang keras karena saat mereka besar nanti, mereka bisa mencari makan sendiri, bahkan memberi makan orang lain, seperti dirinya.  Dia menjawab: Biarkan orang lain yang melakukan itu, saya cukup melakukan seperti ini. 

Menurut teman dekatnya, teman ini tidak pernah melakukan acara buka puasa bersama. Tidak pernah juga melakukan syukuran kalau ada properti barunya. Ketika ditanya kenapa tidak melakukan itu? Dia menjawab, sebaiknya syukuran bersama dengan orang yang tak punya. Meskipun rajin menyumbang, dia tidak pernah terdengar juga namanya sebagai penyumbang di sebuah Masjid. Saya pernah dengar kalau dia membangun masjid, tapi infonya menjadi simpang siur. 

Dia bahkan tidak suka sumbangannya dilabeli "tanpa nama" atau "hamba Allah" karena dia masih menganggap itu bisa menjadi kedok ketidakikhlasan. Satu lagi, intensitas berbaginya tidak fluktuatif. Tidak ada perbedaan cara berbaginya, baik  Ramadan maupun di luar Ramadan. 

Siapa sebenarnya orang ini? Meskipun saya sebut mungkin juga anda tidak kenal. Sekiranya dia mau terkenal, dari dulu dia lakukan pada cara berbaginya. Anda setuju dengan "ideologi" berbaginya? Bagaimana jalan tengah berbagi dari dua jenis di atas? Jangan tanya balik saya, karena saya bisa bias, masalahnya orang yang saya cerita ini, juga sering "ngasih-ngasih" ke saya.