Tulisan ini dipicu oleh kisah yang berasal dari Prof. Tahir Kasnawi, Sosiolog Senior Universitas Hasanuddin. Beliau punya paman yang bekerja di daerah, tapi dipindahkan ke Kota Makassar. Di Makassar, pamannya mengontrak sebuah rumah di salah satu perkampungan ramai, namanya: Rappokalling. Paman ini menyewa sebuah tempat dengan cara berbagi rumah dengan pemiliknya, setengah rumah dia sewa, setengahnya lagi tetap ditempati pemiliknya.
Baru beberapa saat pamannya tinggal di tempat itu, dia datang ke Prof Tahir untuk menyampaikan bahwa dia ingin mencari kontrakan baru. Pak Prof Tahir sangat terkejut, karena rumah kontrakannya sebenarnya lumayan representatif dan dekat dengan tempat kerjanya.
Prof Tahir berpikir sebelum bertanya, mungkin kawasan itu kurang aman, atau ada konflik dengan pemilik rumah, atau ada yang lain yang bersifat personal yang mengancam stabilitas keluarga pamannya. Lalu Prof Tahir bertanya kepada pamannya, mengapa harus pindah kontrakan lagi? Rupanya jawaban pamannya mengagetkan sekali, di luar ekspektasi Prof Tahir. Jawabannya: "Yang punya rumah kontrakan adalah Muslim tapi tidak shalat lima waktu. Saya mau sampaikan baik-baik tapi khawatir terjadi masalah, karena mereka bisa mengatakan itu urusan kami dengan Tuhan, jangan campuri."
Dia melanjutkan: "Saya mau diamkan begitu saja, tapi bukankah agama mengajarkan bahwa dosa melihat begitu saja kemungkaran, tanpa usaha untuk memperbaikinya. Itulah sebabnya, jalan terbaiknya saya memutuskan untuk pindah."
Para pembaca, saya menutup kisah singkat di atas dengan pertanyaan dan mengharap jawaban dari pembaca. Apakah cerita di atas sesuatu yang masih lumrah pada konteks masyarakat urban sekarang ini? Apakah keputusan paman di atas untuk pindah kontrakan adalah sebuah "Jalan Tengah" terbaik yang harus dilakukan? Atau keputusan Paman ini bisa dikategorikan sebagai jalan ekstrim dalam menyikapi masalah keberagamaan yang dia hadapi?