Saya memulai dengan sebuah ilustrasi. Ada seseorang memiliki dua kawan yang berbeda karakter. Perbedaannya sangat tajam. Namun, orang ini tidak mungkin melepas salah satu dari sahabatnya ini karena dari kekurangannya yang menyolok, kedua kawannya ini memiliki juga kelebihan yang susah ditandingi.
Sahabat pertamanya, memiliki watak pemarah, istilahnya: bad tempered. Emosinya gampang sekali tersulut. Hal yang sangat sepele saja dia bisa marah. Bila dia tidak menyetujui ide sahabatnya, dia respon dengan emosional. Dia selalu menghadapi perbedaan pendapat dengan emosi. Kalau sahabatnya berbicara dengan menyinggung watak orang lain, dirinya sendiri yang selalu merasa disinggung.
Namun di balik wataknya yang pemarah, dia tipe orang yang pemurah. Dia pribadi yang ringan tangan, gampang membantu siapa saja. Cara membantunya juga tidak setengah hati. Dia gampang sekali tersentuh hatinya terlebih dari kalangan orang yang memiliki keterbatasan fisik. Dia juga sangat mudah diminta tolongi oleh sahabatnya. Apa saja dia bisa bantu untuk sahabatnya, mulai pikiran, ide, sampai pada keuangan. Sudah tak terhitung dia pinjamkan uang sahabatnya, dan setiap mau mengembalikannya, dia menolak atau mengatakan pakai saja dulu.
Sahabat keduanya memiliki emosi yang sangat terkontrol. Bahkan sahabatnya lupa kapan terakhir dia menunjukkan sikap marah. Salah satu cara jelas menandai kalau dia kurang bekenan terhadap sesuatu, dia hanya menatap sahabatnya sedikit lama, senyum tipis dan setelah itu selesai. Kalau terlibat perdebatan dengan orang, dia mampu berargumen tanpa pernah menunjukkan emosinya. Tipenya juga "good humored", mudah sekali menyampaikan bahasa yang membuat sahabatnya tertawa.
Namun dari kemampuan emosinya yang selalu terkendali, dia memilki watak yang sangat pelit. Sahabatnya juga lupa kapan terakhir dia berbagi kepada dirinya atau kepada orang lain. Bukan hanya kepada orang lain dia pelit, tetapi bahkan kepada dirinya juga. Bila ingin membeli sesuatu buat dirinya dia menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan sahabatnya, dan ujung-ujungnya tidak jadi dibeli. Setiap membeli sesuatu, selalu dia menunggu kembaliannya, sekecil apa-pun itu.
Saking pelitnya, tetangganya saja yang dikenal pelit sering membicarakan jiwa pelitnya. Setiap diminta menyumbang oleh sahabatnya, selalu dia bertanya untuk apa sumbangan itu diadakan, dan hasil analisanya selalu berujung pada tidak tepat untuk menyumbang kepada yang lain.
Para pembaca, dari ilustrasi di atas saya ingin bertanya, sekiranya anda harus memilih berkawan salah satu dari dua orang di atas, anda pilih yang mana? Memilih yang pemurah meskipun pemarah, atau yang periang tapi pelit?
Kalau anda tanya balik saya, saya memilih yang berwatak pemurah meskipun pemarah. Saya mencermati bahwa kedua sikap ini mengandalkan rasa, bukan rasio. Jadi cara untuk menghadapinya adalah memaksimalkan rasio kehidupannya. Caranya, setiap dia marah saya buatkan lubang paku pada hamparan papan. Sebanyak dia marah, sebanyak itu lubang yang nantinya saya perlihatkan pada waktunya, pada saat melihat gejala rasionya mulai bekerja. Saat itulah saya perlihatkan lubang-lubang kecil yang tergali sebagai akumulasi dari kemarahannya yang menimbulkan bekas yang susah tertutupi kembali. Begitulah analogi tentang luka yang ditimbulkan buat dirinya dan orang lain saat marah.
Mengapa saya tidak memilih yang berwatak pelit tapi periang? Karena menurut saya, dua karakter yang dimilikinya mencampur antara rasa dengan rasio. Dia menggunakan dua cara itu untuk memelihara watak kontradiktif yang ada pada dirinya. Dia pelit karena dia sangat logis, sangat pintar merasionalisasi kepelitannya. Dia periang karena dia memainkan rasa kepada orang lain. Jadinya, akan sangat susah merubah kebiasaan seperti yang memiliki watak ini. Bagaimana dengan pilihan anda? Jangan pernah bilang, memilih pemarah yang juga pelit. Mendingan kiamat!