Gambar footnote-historis--kisah-di-balik-pengunduran-diri-mohammad-hatta-sebagai-wakil-presiden-g.jpg

Dalam buku Guntur Sukarno Putra berjudul, "Bung Karno, Bapakku, Kawanku dan Guruku," Guntur menuturkan bahwa ketika itu dia ingin menikahi sang kekasih yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Hal itu kemudian dia sampaikan kepada sang ayah yang tengah sakit dan menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala).

Jawaban Sukarno sungguh membuat kaget Guntur. Karena tak bisa untuk menghadiri acara penting itu, Sukarno kemudian mengusulkan untuk meminta kesediaan Hatta menjadi wali nikah Guntur. Sang anak pun diyakinkan bahwa Hatta pasti akan bersedia.

Sejatinya, Hatta bukankah orang baru bagi Guntur. Sejak kecil, Hatta sudah pernah mengasuhnya. Ketika di Rengasdengklok, dua hari sebelum Proklamasi RI, Hatta dan Sukarno bergantian menggendong Guntur. Bahkan, dikabarkan Hatta sempat kena ompol Guntur.

Namun, tetap saja Guntur tak percaya dengan ucapan Ayahnya, mengingat sejarah hubungan keduanya yang memburuk, sampai-sampai Hatta memutuskan untuk mundur dari posisi wakil presiden.

Namun, ucapan Sukarno terbukti. Saat Guntur menghubungi Hatta melalui telepon dan mengungkapkan maksudnya, tak terdengar keraguan. Hatta langsung mengiyakan.

Sukarno, Hatta, dan rumah tempat mereka 
Sukarno, Hatta, dan rumah tempat mereka
Pertemuan terakhir keduanya terjadi pada 19 Juni 1970, dua hari sebelum Sukarno wafat. Ketika itu Hatta menjenguk sahabatnya yang tengah terbaring sakit itu. Namun, Sukarno tengah tidur lelap ketika Hatta memasuki kamar.

Awalnya Hatta sempat akan beranjak pulang. Tapi ketika ia hendak melangkah keluar, Sukarno terbangun dan akhirnya berbicara pada Hatta dengan suara yang tidak jelas dan air mata yang menetes.

"Hatta, kau ada di sini. Hoe gaat het met jou? (Apa kabar?)," tanya Sukarno, dalam bahasa Belanda.

Meutia, putri Hatta yang juga ada di ruangan itu menggambarkan reaksi ayahnya yang terus memijat tangan Sukarno sambil berkata, "Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh," ujar Hatta.

Selanjutnya, pertemuan itu hening dan tidak ada kata-kata apa pun selama 30 menit. Sambil menggenggam tangan Hatta, Sukarno menangis.

Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Sukarno wafat. Banyak yang menilai hanya pribadi-pribadi terpilihlah yang bisa bersikap seperti Sukarno dan Hatta. Tentu tak mudah bagi Sukarno menerima kritikan pedas Hatta berulang kali. Sebaliknya, menyakitkan bagi Hatta melihat Sukarno yang dinilainya sudah melenceng dari acuan politik yang mereka yakini sejak awal.

"Sukarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.

"Ruang pribadi mereka terjaga. Inilah uniknya, karena secara politik bermusuhan, tapi pribadi tidak," kata sejarawan, Taufik Abdullah tentang uniknya hubungan kedua Proklamator RI tersebut.

Wasalam,
Kompl. GFM, 8 September 2023 M/22 Shafar 1445 H