Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
FOOTNOTE HISTORIS: AKTIVITAS SELAMA STUDY DI NEGERI "KINCIR ANGIN ". (8)
26 Mei 2023
by Ahmad M. Sewang
e. Aktif Sebagai Penceramah
Selama di Belanda, kami aktif memanfaatkan waktu luang untuk memberi ceramah, baik di Kedubes Indonesia di Den Haag Belanda ataupun di Brussels, Belgia. Kami pun berdakwah di organisasi sosial Islam, terutama di Musala Ittihad yang dikelola Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME) di Den Haag.
Dalam pengamatan penulis, umat Islam di tengah kehidupan mayoritas non-muslim lebih antusias dalam beragama dibanding di negerinya sendiri yang mayoritas Muslim. Jamaah Musala Ittihad Den Haag datang dari tempat berjauhan di kota-kota Belanda, seperti dari Amsterdam, Rotterdam, Groningen, dan kota lainnya. Musala Ittihad di Den Haag disewa untuk pengajian dan salat. Di sana kami bertemu sesepuh umat Islam dari Indonesia, Hambali Maksum. Beliau adalah teman akrab Gusdur ketika masih di Mesir. Tidak heran jika orang pertama dari Belanda diundang ke istana ketika Gusdur jadi presiden adalah Hambali Maksum. Ia diangkat sebagai penasehat presiden.
Di sini juga kami bertemu para pengurus PPME, yaitu Ahmad Nafan Sulchan, dan M. Chaeron, dan tokoh lainnya. M. Chaeron-lah yang mengatur keberangkatan penulis sebagai khatib Idulfitri di Kedubes Indonesia untuk Belgia di Brussels. Selesai Idulfitri umat Islam langsung Halalbihalal. Di sinilah bertemu masyarakat Indonesia di Brussels, termasuk Prof. Adrianus Moy yang waktu itu menjadi Perwakilan Ekonomi Indonesia untuk Eropa. Penulis duduk berdekatan dengan beliau pada acara Halalbihalal itu. Untuk memancing pembicaraan penulis memulai dengan kalimat, "Penulis selalu menyaksikan Prof. di tv." Beliau pun bertanya, "Kapan?" Penulis jawab, "Ketika Prof. menjabat sebagai Direktur Jenderal Bank Indonesia." Mulailah kami terlibat pembicaraan panjang tentang perkembangan di tanah air.
Selain itu, kami juga diundang berceramah di Rotterdam di hadapan para mahasiswa yang sementara studi di Belanda.
Sampai tahun 1994, Negeri Kincir Angin sudah memiliki 300 masjid. Sayang belum ada masjid khusus untuk masyarakat Indonesia. Nantilah pada akhir 1995, di saat umat Islam Indonesia berupaya keras mengumpulkan dana untuk mendirikan masjid, setelah Musala al-Ittihad tidak dapat lagi menampung jamaah yang terus bertambah, Probosutedjo, pengusaha Indonesia, membeli gereja Immanuel dan mewakafkannya untuk umat Islam pada 1 Juli 1996. Masjid ini diberi nama Masjid Al-Hikmah terletak di Heeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag. Lantai bawah digunakan untuk pengajian dan kegiatan remaja Islam. Lantai atas untuk salat yang diperkirakan memuat lebih 5.000 jamaah.
Mengapa gereja? Untuk mendirikan bangunan baru di Belanda tidaklah mudah, sementara ketika itu banyak gereja yang tidak lagi difungsikan dan dijual kepada umum. Menurut Ahmad Nafan Sulchan, salah seorang pendiri PPME, masyarakat sekitar gereja lebih senang jika gereja itu dijadikan masjid daripada digunakan untuk kepentingan lain, seperti diskotik.
Banyak gereja yang diubah jadi masjid, seperti masjid Maroko yang tempatnya dekat Universitas Leiden. Penulis selalu salat luhur di sana. Tidak ada perbedaan cara salat antara mereka yang bermazhab Maliki dengan muslim Indonesia yang kebanyakan bermazhab Syafii. Kecuali masalah furu, seperti Imam tidak ingin memulai takbir sebelum jamaah siap dan berdiri lurus. Garis safnya pun kecil dan sebagai patokan kelurusan adalah tumit. Namun yang menarik salat di Masjid Maroko adalah pembagian kurma pada jamaah selesai salat, terutama salat Jumat. Penulis pun memperhatikan perpustakaan masjidnya bahwa buku kepustakaannya hampir sama dengan Indonesia, seperti buku Islam Akidatun wa Syariah, karangan Mahmud Saltout.
Di Belanda banyak gereja yang kosong dan biasanya dijadikan tempat pameran dan rommermark atau tempat penjualan barang-barang second hand. Memang perkembangan agama Kristen di Belanda sedang mengalami kemunduran. Sebaliknya, penganut Islam sedang mengalami trend perkembangan.
Wasalam,
Kompleks GPM, 24 Mei 2023 M/ 4 Z. KAIDAH 1444 H