e. Aktif Sebagai Penceramah 
Selama di Belanda, kami aktif memanfaatkan waktu luang untuk memberi ceramah, baik di Kedubes Indonesia di Den Haag Belanda ataupun di Brussels, Belgia. Kami pun berdakwah di organisasi sosial Islam, terutama di Musala Ittihad yang dikelola Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME) di Den Haag. 
 
Dalam pengamatan penulis, umat Islam di tengah kehidupan mayoritas non-muslim lebih antusias dalam beragama dibanding di negerinya sendiri yang mayoritas Muslim. Jamaah Musala Ittihad Den Haag datang dari tempat berjauhan di kota-kota Belanda, seperti dari Amsterdam, Rotterdam, Groningen, dan kota lainnya. Musala Ittihad di Den Haag disewa untuk pengajian dan salat. Di sana kami bertemu sesepuh umat Islam dari Indonesia, Hambali Maksum. Beliau adalah teman akrab Gusdur ketika masih di Mesir. Tidak heran jika orang pertama dari Belanda diundang ke istana ketika Gusdur jadi presiden adalah Hambali Maksum. Ia diangkat sebagai penasehat presiden. 
 
Di sini juga kami bertemu para pengurus PPME, yaitu Ahmad Nafan Sulchan, dan M. Chaeron, dan tokoh lainnya. M. Chaeron-lah yang mengatur keberangkatan penulis sebagai khatib Idulfitri di Kedubes Indonesia untuk Belgia di Brussels. Selesai Idulfitri umat Islam langsung Halalbihalal. Di sinilah bertemu masyarakat Indonesia di Brussels, termasuk Prof. Adrianus Moy yang waktu itu menjadi Perwakilan Ekonomi Indonesia untuk Eropa. Penulis duduk berdekatan dengan beliau pada acara Halalbihalal itu. Untuk memancing pembicaraan penulis memulai dengan kalimat, "Penulis selalu menyaksikan Prof. di tv." Beliau pun bertanya, "Kapan?" Penulis jawab, "Ketika Prof. menjabat sebagai Direktur Jenderal Bank Indonesia." Mulailah kami terlibat pembicaraan panjang tentang perkembangan di tanah air. 
 
Selain itu, kami juga diundang berceramah di Rotterdam di hadapan para mahasiswa yang sementara studi di Belanda. 
Sampai tahun 1994, Negeri Kincir Angin sudah memiliki 300 masjid. Sayang belum ada masjid khusus untuk masyarakat Indonesia. Nantilah pada akhir 1995, di saat umat Islam Indonesia berupaya keras mengumpulkan dana untuk mendirikan masjid, setelah Musala al-Ittihad tidak dapat lagi menampung jamaah yang terus bertambah, Probosutedjo, pengusaha Indonesia, membeli gereja Immanuel dan mewakafkannya untuk umat Islam pada 1 Juli 1996. Masjid ini diberi nama Masjid Al-Hikmah terletak di Heeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag. Lantai bawah digunakan untuk pengajian dan kegiatan remaja Islam. Lantai atas untuk salat yang diperkirakan memuat lebih 5.000 jamaah. 
 
Mengapa gereja? Untuk mendirikan bangunan baru di Belanda tidaklah mudah, sementara ketika itu banyak gereja yang tidak lagi difungsikan dan dijual kepada umum. Menurut Ahmad Nafan Sulchan, salah seorang pendiri PPME, masyarakat sekitar gereja lebih senang jika gereja itu dijadikan masjid daripada digunakan untuk kepentingan lain, seperti diskotik. 
 
Banyak gereja yang diubah jadi masjid, seperti masjid Maroko yang tempatnya dekat Universitas Leiden. Penulis selalu salat luhur di sana. Tidak ada perbedaan cara salat antara mereka yang bermazhab Maliki dengan muslim Indonesia yang kebanyakan bermazhab Syafii. Kecuali masalah furu, seperti Imam tidak ingin memulai takbir sebelum jamaah siap dan berdiri lurus. Garis safnya pun kecil dan sebagai patokan kelurusan adalah tumit. Namun yang menarik salat di Masjid Maroko adalah pembagian kurma pada jamaah selesai salat, terutama salat Jumat. Penulis pun memperhatikan perpustakaan masjidnya bahwa buku kepustakaannya hampir sama dengan Indonesia, seperti buku Islam Akidatun wa Syariah, karangan Mahmud Saltout.
Di Belanda banyak gereja yang kosong dan biasanya dijadikan tempat pameran dan rommermark atau tempat penjualan barang-barang second hand. Memang perkembangan agama Kristen di Belanda sedang mengalami kemunduran. Sebaliknya, penganut Islam sedang mengalami trend perkembangan. 
 
Wasalam,
Kompleks GPM, 24 Mei  2023 M/ 4 Z. KAIDAH 1444 H