Kami tiba di Airport Schipol Amsterdam pagi hari, dijemput staf INIS, yaitu van Der Meij, A van Der Hoek, dan Jenifer. Kami langsung diantar ke apartemen Nieuweroord dekat Zikenhuis di Leiden. Di sana kami langsung dibagikan uang living cost untuk sebulan. Nampaknya, mereka tidak tahu bahwa uang living cost sudah kami terima di Kemenag Jakarta. Akhirnya living cost itu oleh Direktur INIS, Prof. Dr. W.A.L. Stokhop, diberikan sebagai hibah. Di dalam living cost itu sudah termasuk sewa kamar apartemen, biaya makan, pembelian buku, dan uang transportasi. 
 
Setelah barang-barang dimasukkan ke kamar masing-masing. Kami dibawa ke restoran padang. Hal paling berkesan adalah setelah selesai makan, masing-masing membayar sendiri-sendiri yang dimulai Mevrow A van. Kami sedikit kaget, karena kebiasaan di Indonesia yang menganut budaya kolektif, hanya seorang saja yang bayar dan dialah yang menanggung semuanya. Di sinilah kami mulai melakukan aktivitas mandiri dimulai membayar di restoran sendiri-sendiri. Itu juga penulis alami ketika mengikuti seminar mahasiswa internasional, ketika selesai snack masing-masing bayar sendiri-sendiri. Tetapi, kami kemudian bisa memahaminya dan menyesuaikan diri dengan kehidupan di Barat yang mandiri dan tidak saling membebani. Bukankah sebelum ke restoran, sudah dibagikan sejumlah uang living cost yang sama? Bukankah ini lebih adil, jika masing-masing membayar sesuai jumlah yang dimakan?
 
Hari pertama itu juga langsung penulis menghubungi Prof. Dr. Karel Steenbrink untuk menyampaikan kiriman al-Qur’an dalam bahasa Indonesian yang dikirim anak bimbingannya, Husni Rahim, Dirjen Bimbaga Islam Depatemen Agams. Malamnya beliau datang dan sangat gembira menerima kiriman al-Qur’an itu, sambil berkata, "Penulis bersyukur menerima al-Qur’an terjemahan Indonesia, sebab kebetulan saya mengajar tafsir di McGill Montreal Canada," katanya. Mendengar itu, penulis heran karena beliau seorang missiology Katolik yang berkantor di bekas rumah Snouck Hurgronje. Sambil berkata dalam hati bahwa penulis sejak ibtidaiah sudah belajar al-Qur’an, tetapi belum pernah mengajarkan tafsir. Di belakang baru penulis ketahui bahwa studi Islam di Barat, terdapat, paling tidak dua kemungkinan, yaitu: 
a. Atas dasar memperkuat keyakinan,
b. Atas dasar ilmu pengetahuan.
 
Nampaknya, Steenbrink belajar didasarkan pada ilmu pengetahuan. Beberapa bulan kemudian, kami diundang mengikuti presentasinya tentang kajiannya al-Qur’an yang berjudul, "Kisah Cinta antara Nabi Yusuf dan Sulaikha dalam al-Qur’an." Sebuah kajian tematik terhadap al-Qur’an yang tidak pernah kita sentuh. 
Prof. Steenbrink memberi banyak kesan tentang sikap toleransi. Beliaulah memberi arahan pertama tentang tempat salat yang bersih untuk berjamaah serta arah kiblat yang benar. Beliau pun menjanjikan akan membawa kami ke kuburan Snouck Hurgronje yang bersamaan dengan upacara keagamaan Tarekat Naksabandiah di Ridderkerk yang nanti akan diuraikan kemudian. 
 
Wasalam,
Kompleks GPM, 16 Mei  2023 M/26 Syawal 1444 H