f. Mengawinkan Keluarga Murni Salampesy  
Suatu ketika penulis dapat telepon dari Murni Salampesy. Ia pernah menjadi mahasiswa S1 Fakultas Usuluddin IAIN Alauddin Makassar. Kemudian ia dipersunting seorang warga negara Belanda keturunan Maluku bernama Ahmad Tuharea. Ahmad tinggal di Hoofddorf dan bekerja sebagai teknisi di Airport Internasional Schipol Belanda dekat Amsterdam. Mereka mengundang penulis untuk mengawinkan keluarganya, sekaligus mengikuti prosesi perkawinan itu. 
Di Belanda banyak keturunan Maluku bekas tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), Tentara Kerajaan Hindia Belanda. KNIL melayani pemerintahan Hindia Belanda, banyak d anggota-anggotanya sebagai penduduk bumiputra di Hindia Belanda dan orang-orang Indo-Belanda. Ketika terjadi penyerahan kedaulatan, sebagian mereka hijrah ke Belanda dan sedikit di antara mereka beragama Islam. Mereka inilah yang masih tetap mempertahankan tradisi Islam. Terutama generasi pertama yang sejak awal menjalankan tradisi Islam. Tetapi generasi sesudahnya pengamalan tradisi Islamnya hanya sebatas simbolis. 
Perkawinan di Belanda baru sah bila dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Sebelum ke Kantor Catatan Sipil, penulis diminta mengawinkan berdasarkan agama Islam di rumah pengantin perempuan. Si pengantin pria beretnis Belanda dan si pengantin wanita keturunan campuran Maluku dan Belanda. Ibunya asal Maluku dan Bapaknya Belanda. Ibunya inilah yang meminta pada penulis untuk mengawinkan putrinya.
 
Peristiwa perkawinan ini bagi penulis sangat bersejarah, sebab itulah pertama kali penulis bertindak sebagai penghulu perkawinan. Selesai dikawinkan menurut agama Islam, penulis diminta mendoakan agar perkawinan keduanya abadi penuh mawaddah dan rahmat. Setelah itu, kedua pengantin dibawa ke Kantor Catatan Sipil. Sebab perkawinan yang sah di Belanda adalah perkawinan yang dilaksanakan di catatan sipil. Di sinilah Ibu pengantin wanita meminta lagi pada penulis untuk kembali mendoakan. 
Selesai perkawinan, pengantin dan rombongan langsung menuju gedung resepsi perkawinan menerima tamu. Di sana terjadi semacam reuni bagi para muhajir dari Maluku dan keturunannya yang datang dari seluruh penjuru Belanda. Mereka semua sudah menjadi warga negara Belanda. Mereka adalah para sahabat dan handai tolan yang sebagiannya sudah kawin-mawin dengan penduduk asli, Belanda. Di tengah prosesi acara resepsi perkawinan penulis diminta lagi untuk baca doa. Namun, penulis menyampaikan bahwa doa-doa penting perkawinan sudah penulis bacakan ketika kawin berdasarkan agama Islam di rumah pengantin dan ketika di catatan sipil. Tetapi, penulis kaget ketika ia mencari pengganti sebagai pembaca doa dan yang diminta adalah seorang pendeta. Penulis kemudian sadar bahwa peristiwa itu menggambarkan keberagamaan masyarakat muslim Maluku di Belanda. Bagi mereka yang penting beragama, sekali pun keberagamaan mereka (Muslim atau pun Kristen) dilakukan secara simbolis. Bagi Muslim lebih pada Islam syahadat. Demikian halnya bagi Kristen tinggal nama, mereka sudah tidak taat lagi pada agamanya. Buktinya banyak gereja yang kosong. Di Amsterdam tinggal 12,5% penduduk yang masuk gereja pada hari Minggu, sisanya menjadi sekuler yang agnostisme, beragama atau tidak beragama sama saja. Itulah gambaran perkawinan dan keberagamaan masyarakat Maluku di Negeri Keju. 
 
Wasalam,
Kompleks GPM, 25 Mei  2023 M/ 5 Z. KAIDAH 1444 H