Suatu ketika, saya melayani seorang pasien wanita yang datang untuk berkonsultasi mengenai kehamilannya. Usianya sekitar 35 tahun, perutnya membulat—tanda bahwa usia kandungannya telah memasuki trimester ketiga. Ini adalah kehamilan kelimanya. Namun yang paling mencolok bukanlah fisiknya, melainkan pancaran wajahnya. Ada gurat lelah yang dalam. Sorot matanya penuh kecemasan, seperti seseorang yang menanggung beban lebih dari sekadar membawa kehidupan dalam rahimnya.
Ia membuka pintu ruang praktik dengan ragu, langkahnya pelan. Sejenak saya bisa menangkap bahasa tubuh seorang perempuan yang sedang mencoba kuat di tengah luka yang disimpannya sendiri.
Sayapun menyambutnya dengan hangat, lalu mempersilakan duduk di hadapan saya.
"Ibu Nani, apa kabar? Sepertinya baru pertama kali ya ke sini?"
"Iya, dok," jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik. Ia duduk perlahan di kursi depan saya, dengan tangan yang sesekali mengusap perutnya.
Saya menengok ke pintu. Tidak ada yang menyusul.
"Ibu sendirian?"
Ia mengangguk cepat, lalu menunduk.
"Suami di mana, Bu?" tanya saya lembut.
Ia menarik napas, lalu menjawab lirih, "Oh... sibuk, dok." Senyumnya canggung, matanya menghindar. Ia mencoba terdengar ringan, tapi saya tahu betapa berat kalimat itu.
Saya tidak melanjutkan pertanyaan. Ada saatnya kita bertanya, dan ada saatnya kita cukup hadir dan mendengar. Hati saya terasa hangat tapi juga perih. Ada kisah yang belum selesai di sana. Mungkin tentang seorang ayah yang memilih pergi. Mungkin tentang seorang ibu yang memilih bertahan. Atau mungkin... tentang keduanya yang sedang terluka.
Hari itu saya belajar, bahwa menjadi dokter bukan hanya soal diagnosis dan terapi. Tapi juga menjadi saksi sunyi dari kisah-kisah yang tak semua orang berani ceritakan.
Dan dalam diam, saya doakan... semoga bayi itu lahir dengan cinta, walau mungkin tanpa kehadiran seorang ayah.
Fenomena fatherless bukan hanya soal absennya seorang pria dalam rumah tangga. Tapi lebih dalam dari itu. Ini tentang hilangnya figur pelindung, guru pertama, dan panutan utama dalam rumah. Seorang ayah yang seharusnya menjadi pemimpin dalam kasih dan teladan dalam akhlak... kini terlalu sering tereduksi menjadi sekadar “pencari nafkah.” Hadir secara fisik, tapi kosong secara emosional. Ada di rumah, tapi hatinya jauh. Mata yang tidak lagi menatap wajah anaknya, tapi begitu berbinar menatap layar gawainya.
Lihatlah di sekitar kita.
Remaja yang kehilangan arah. Anak lelaki yang keliru mencari jati diri. Anak perempuan yang haus validasi, mudah jatuh pada cinta semu, karena sejak kecil ia tak pernah tahu rasanya dipeluk dengan aman oleh sosok ayah.
Saya teringat seorang pasien remaja perempuan, 15 tahun, datang dengan rasa takut akibat kehamilan yang tak diinginkan. Hamil di luar nikah. Ayahnya bekerja sebagai pelaut dan jarang pulang. Ibunya pun sibuk dengan dunianya sendiri. Anak ini mencari perhatian... dan ia menemukannya dari laki-laki yang salah. Dan circle pergaulan yang salah.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan pada tahun 2022 , 1.188 anak Indonesia positif HIV, dengan kelompok usia 15–19 tahun sebagai yang paling banyak terinfeksi, yaitu 741 kasus. Penularan pada remaja sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual berisiko dan penggunaan narkoba suntik. Setiap tahun, sekitar 50.000 anak di Indonesia mengalami kehamilan di luar nikah.
Kita sedang menghadapi krisis kehadiran ayah.
Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim a.s. menunjukkan bahwa peran ayah bukan hanya memberi makan dan tempat tinggal. Tapi mendidik, berdialog, dan mendoakan. "Ya bunayya..." begitu lembutnya beliau memanggil Ismail. Ada kasih, ada bimbingan, ada spiritualitas yang mengakar.
Bukan uang yang akan membentuk generasi, tapi kehadiran. Bukan fasilitas, tapi keteladanan.
Semoga para ayah di zaman ini kembali mengambil perannya. Menjadi pelindung, bukan sekadar penyedia. Menjadi pembimbing, bukan sekadar penonton. Karena rusaknya generasi, seringkali bermula dari hilangnya sosok ayah dalam rumah yang seharusnya menjadi sahabat pertama bagi anak-anaknya. Kembalilah Ayah!