Ketika riset di Leiden, Belanda, atas fasilitas teman-teman umat Islam di Den Haag, saya dapat undangan untuk baca Khotbah Idulfitri di Brussels. Kesempatan itu saya terima, nampaknya, dengan suasana lebaran si tuan rumah menyesuaikan diri karena itu musik yang diputar sepanjang hari dari malam sampai pagi hanya lagu-lagu bernuansa religius atau lagu-lagu Bimbo. Di dunia Barat berbeda dengan dunia Timur, khususnya di Asia Tenggara, di sana untuk menentukan lebaran bagai ilmu pasti, sudah dipastikan jauh sebelumnya sama dengan memastikan gerhana bulan. Jadi satu bulan sebelumnya saya sudah diberi tahu bahwa saya akan memimpin salat Idulfitri di Brussels. Beda di negeri Mabin malam itu baru diketahui karena nanti malam itu baru bisa dirukya bulan.
Saya tinggal di rumah atase ekonomi Duta Besar RI di Brussels, putrinya ada dua orang semua masih kecil, masih duduk di SMP, dan keduanya pintar berbahasa Belanda dan Prancis. Negeri Belgium tidak punya bahasa persatuan. Belgia bahagian Timur berbahasa Belanda dan Belgia bahagian Barat berbahasa Prancis. Belgia dengan ibu kota Brusels berbatasan dengan Belanda sebelah timur dan Prancis sebelah Barat.
Besok pagi saya di antar ke kedutaan di Brusels untuk memimpin salat dan Khotbah Idulfitri. Selesai salat saya langsung ketemu masyarakat Indonesia di Brussels dan langsung mereka Berhalal bi Halal. Di sinilah berjumpah dengan Prof. Dr. Adrianus Moy, mantan Kepala Bank Central Indonesia di era Presiden Soeharto. Adrianus Moy waktu itu sedang menjabat Duta Besar Ekonomi untuk Indonesia di Eropa. Ini juga menunjukkan bahwa Idulfitri berbeda dengan Halal bi Halal. Halal bi Halal bukan ibadah sehingga agama apa pun bisa menghadirinya.
Setelah selesai Halal bi Halal, saya langsung balik ke Belanda dengan aman dan damai sepanjang jalan. Di negeri keju insya Allah dijamin keamanannya sepanjang tidak mengganggu orang lain. Lebaran di Brusels sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan sepanjang hidup, sebuah kesempatan positif yang belum tentu datang kedua kalinya.