“Hendaknya kalian rendah diri, sehingga kalian tidak berbuat zhalim kepada yang lain dan tidak menyombongkan diri terhadap mereka”
(HR. Muslim)
Ketika sinar mentari lama pergi menjelang senja dan menembus malam, akan banyak yang bernapas lega, sebab Dialah yang menjadikan malam dan tidur untuk istirahat (Al Furqon: 47). Tak perlu ada kedustaan, ketika pintu peraduan telah terbuka untuk jangka waktu semalam suntuk, ketika semua manusia terbuai dalam naungan penjaga alam semesta, ketika angin lembut telah menyapa, menghantarkan setiap insan pada mimpi yang lelap. Namun malam itu, sepenggal cerita muncul dari orang-orang yang terjaga, menekuni malam untuk mengagungkan-Nya. Udara sejuk, lembut dan bersahabat membelai setiap insan, sinar rembulan merembes di ranting dedaunan, membiaskan cahaya kuning pucat pada kaki, itulah karunia Ilahi, Sang Pencipta Kehidupan ini.
Hari itu, tak terasa pergerakan roda waktu telah melewati hari-hari di bulan kedua. Kami telah menumpang untuk menghabiskan waktu di sebuah perkampungan asri yang belum ternodai oleh nafsu duniawi para pencari rupiah. Setiap pagi, hamparan padi dan kebun sayur menjadi layar tiga dimensi, beratapkan langit bersih sebening jiwa gadis-gadis desa yang lugu, sesekali hembusan angin laut Dermaga Karaeng Galesong menghempas kepenatan di siang hari dan lambain daun setiap waktu menyapa dengan senyuman ikhlas. Itulah eksotisme alam salah satu dusun di Kabupaten Takalar, tempat kami merangkai sebuah peradaban.
Ah, mungkin ini adalah sebuah cerita lama ‘anak’ KKN di sudut kampung yang masih akrab kearifan lokalnya. Sesaat mata hening menatap ekspresi wajah teman-temanku. Ada yang cuek bebek dengan keadaan, ada juga sedikit angkuh dengan perawakan modis masa kini, berpikiran kuno dan gaya klasik, namun ada pula yang lugu, sederhana bercampur sumringah.
Tak pernah terduga sebelumnya jika di dusun kecil itulah akan menjadi saksi sejarah bagi sekumpulan pemuda-pemudi peradaban, penuh semangat dan pecinta negeri ini. Beberapa pemuda ‘intelek’ dari latar belakang yang beragam dipertemukan oleh takdir yang Kuasa. Kami adalah mahasiswa ‘pilihan’ yang tengah mencari jati diri sekaligus mengabdikan ‘sedikit’ ilmu kepada masyarakat. Tentunya kami datang dengan memikul amanah luar biasa sesuai Tri Darma Perguruan Tinggi, bukan sekadar mengaplikasikan ilmu yang dicopy-paste tiap hari di kelas, tapi menjaga etika dan moralnya adalah hal terpenting di tengah masyarakat.
Segala keakraban gemerlap Kota Daeng terpaksa kami tinggalkan demi menjaga asah dan pengabdian kepada masyarakat. Kami memilih kehidupan yang sederhana. Merasakan nuansa kehidupan ‘desa’ yang sedikit banyak berbeda dari kehidupan kampus dan sekitarnya. Dan menarik diri dari pergolakan ‘politik’ yang mulai meruntuhkan dan mengkotak-kotakkan masyarakat agar bisa berbaur tanpa melihat warna.
Aku dan kelima sahabatku adalah mahasiswa ‘terpilih’ yang dibangunkan dari tidur panjangnya untuk mencoba menyambut mentari pagi di Takalar. Kami hadir untuk mengukir dan menjadi pelaku sejarah kemudian mengabadikannya dalam kertas. Mengeksplor segala potensi alam dan sumber daya manusianya sambil memperkenalkan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Takalar dengan segala kesederhanan dan keaslian alamnya justru mampu merangsang kreativitas para mahasiswa utusan itu. Mulai dari bakat mendidik untuk anak-anak desa, naik ke mimbar Jum’at, melafalkan ayat-ayat suci di berbagai waktu, hingga beragam aktivitas positif untuk mengabdi pada masyarakat. Sehingga anak-anak polos yang mulai terpengaruh oleh gemerlap kota tetap menjaga kerifan lokal, nilai kebersamaan tetap terjalin dengan baik. Dari sini kami belajar cara berinteraksi dengan beragam latar belakang dan belajar mensyukuri segala hal yang tampak maupun yang terpendam.
Siklus waktu telah menyeret kami semua jauh dan semakin jauh. Membawa sosok yang katanya ‘ideal’ dan ‘kritis’ berbeda dari momentum awal saat kami pertama kali menginjakkan kaki di dusun kecil itu. Mungkin sebagian diantara kami telah berevolusi atau bermetamorfosa menjadi makhluk habituatif, terbiasa melihat keanehan dan memakluminya. Hari-hari terakhir pun ternodai, peradaban yang kami bangun bersama akhirnya runtuh diterjang oleh dahsyatnya gejolak jiwa yang membuncah.
Kami awalnya merasakan gejolak itu ketika sang pemimpin yang dipercaya untuk membawa nama baik dan menuntun kami untuk bersama membangun sebuah peradaban tak mampu memendam rasa yang berkecamuk, ia pun mencederai misi yang kami pikul dari kampus. Hari itu, seolah langit runtuh seiring runtuhnya cikal bakal peradaban yang telah kami susun. Bukan hanya terjadi pergolakan jiwa diantara kami, tapi benturan fisik pun tak terhindarkan. ‘Tendangan maut’ yang seyogyanya kita saksikan dalam film laga, kini diperankan oleh ‘anak’ KKN peradaban. Sayangnya pertunjukan ini bukanlah sebuah drama kolosal, tapi sebuah kenyataan pahit yang harus kami telan mentah-mentah.
Masyarakat pun seakan tidak percaya saat menyaksikan‘life show’ yang memalukan itu, memang terlalu berat rasanya jika masyarakat menjudge mahasiswa yang datang untuk mengabdi sementara di daerahnya, tapi sekali lagi, ini bukan sandiwara dan masyarakat pun harus menyimpulkan dari sudut pandangnya sendiri. Kami pun tersentak bukan kepalang, namun tak dapat berbuat banyak, di satu sisi sangatlah emosi tapi disisi lain harus bertindak ‘netral’. Sungguh pilihan saat itu sangatlah berat, tetapi kami mencoba mengambil langkah solutif praktis guna meredam pergolakan itu berlarut-larut. Peradaban itu pun hancur, meski telah didahului oleh sedikit pengabdian.
Iya, hakikatnya hidup ini merupakan rangkaian proses belajar dan menempa diri agar menjadi lebih baik. Ketika peristiwa-peristiwa yang kita temui dan kita jalani hanya lewat begitu saja, maka ia hanya akan manjadi masa lalu hampa nilai yang tidak dapat memberikan pengaruh apa pun. Padahal jika kita ingin sedikit saja menggali lebih dalam, mungkin tidak sedikit berkas-berkas berharga yang tertinggal disana.
Aku pun meninggalkan dusun itu dengan rasa yang berkecamuk, bahagia, bersyukur, sedih, jengkel bercampur jadi satu. Semoga kelak akan hadir mahsiswa-mahasiswi dengan misi peradaban yang gemilang di dusun tersebut untuk menutupi kesalahan pada masa itu.
Marilah menjadi seorang pembalajar sejati, kita bisa mengambil hikmah dari setiap derap langkah yang telah kita lewati. Meski tak dapat dipungkiri bahwa itu adalah hal yang cukup sulit dilakukan, tapi bagi seorang pembelajar sejati akan selalu mencoba mencari celah dari setiap kejadian yang dialaminya maupun kejadian yang dialami orang lain. Senantiasa memaknai hidup dari sudut pandang positif, yang mampu malihat nilai-nilai yang belum tersingkap, serta mampu memunculkan keberhargaan walaupun begitu tersembunyi adanya.
Belajar dari perjalanan yang telah dilewati, merupakan bagian dari proses yang benar-benar dapat memberikan banyak manfaat bagi orang lain, semoga! Dan proses ini belum akan berhenti hingga masa yang dinantikan itu tiba, sampai datangnya keputusan Allah dengan segala hikmah-Nya.
* Sebuah curahan hati dari peserta KKN Peradaban 2013