Dr. H. Kaswad Sartono Ketua Rumah Moderasi Beragama UIN Alauddin Makassar
Diksi “anomali” begitu menggema beberapa hari pascapemilu 2024 lalu seiring dengan hasil quick count dan real count hasil pemilu 2024 antara hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan Pemilihan Calon Legislatif (Pileg). Sehingga tak ayal lagi, pandangan adanya anomali tersebut menjadi perbincangan politik yang seru dan debatable, bahkan dibawa-bawa dan ditarik-tarik ke ranah adanya dugaan kecurangan. Bukan main-main dugaan kecurangan itu dilakukan secara terstruktur, sistemik. dan massif (TSM)?
Kata “anomali” biasa diartikan dengan keadaan umum yang menyimpang atau keanehan dalam logika berpikir. Dalam kehidupan manusia, tidak jarang kita dipertontonkan adanya anomali-anomali sebagai sebuah kenyataan dan takdir. Anomali ini bisa dimaknai dan dijadikan sebagai pelajaran sekaligus rambu-rambu kehidupan. Dalam kehidupan nabi Nuh sebagai seorang Rasul misalnya ternyata ada putranya yang bernama Kan’an yang tidak mendapat hidayah Tuhan. Sebaliknya dalam keluarga Fir’aun yang kafir dan sombong ternyata ada Asiyah isterinya yang beriman. Apakah ini sebuah anomali kehidupan atau prerogatif hidayah Tuhan? Begitu juga, negara Indonesia yang kaya raya baik sumber daya alam maupun SDM ini ternyata masih banyak rakyat yang miskin dan pengangguran. Apakah ini juga anomali kehidupan? Atau tantangan kebangsaan? Jadi ingat pepatah tua “Bak tikus mati di lumbung padi.”
Dalam konteks Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh rahmat, bulan penuh ampunan, bulan yang di dalamnya diwajibkan berpuasa dengan tujuan pengendalian diri, bulan yang siang-malamnya dijadikan momentum bertaqarrub kepada Tuhan baik melalui tarwih, tadarrus Zakat, infak, dan shadaqah, serta amalan shaleh lainnya.
Tapi kenapa di bulan Ramadhan masih ada sifat dan perilaku umat beragama (Islam) yang menyimpang dan aneh dari nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan? Misalnya kondisi sosial yang digambarkan oleh Prof. H. Hamdan Juhannis, M.A, Ph..D Rektor UIN Alauddin Makassar dalam kultum Dhuhurnya hari ke-2 Ramadhan di masjid Agung UIN Alauddin (13/3/2024). Menurut Prof. Hamdan penulis buku Melawan Takdir itu kondisi sosial masyarakat yang seakan menjadi “anomali ramadhan” itu antara lain perilaku konsumtif dan pemindahan jadwal makan yang berlebihan, bahkan terkesan balas dendam persoalan perut; fenomena balapan liar di kalangan generasi muda Makassar di waktu subuh hari; belum terbangunnya kesadaran keberagamaan pascaramadhan padahal sebulan penuh para muballigh memberikan ceramah dan mauidhah hasanah. Seharusnya kesadaran keberagamaan (i’tiraf diniyah) umat ini muncul bagaikan gelombang peradaban yang dinamis dan fungsional. Namun justru anomali muncul, begitu Ramadhan lepas, lepas pulalah syiar Islam di masjid-masjid. Belum lagi kasus-kasus “kecil” yang sering mengganggu psikologi umat yaitu hilangnya atau tertukarnya sandal di masjid.
Nah, yang tidak luput juga dari catatan Prof Hamdan sebagai kondisi sosial yang memprihatinkan sekaligus sebagai anomali Ramadhan adalah kenapa di akhir-akhir Ramadhan, khususnya momentum lailatul qadar, semakin banyak pengemis dan peminta-minta di berbagai tempat yang dipandang strategis, traffic light perempatan jalan misalnya atau di masjid-masjid yang banyak jamaahnya. Kemunculan mereka ini seakan-akan menghipnotis kesadaran para dermawan dengan berbagai cara dan gaya.
Berbagai kasus anomali Ramadhan ini tentu sangat baik untuk menjadi bahan renungan, bahan diskusi, dan bahan pertimbangan dan kebijakan bagi semua pihak terkait. Bahkan kalau perlu dapat dijadikan kajian dan riset secara akademik.
Dengan demikian, hadirnya Ramadhan sebagai bulan penuh berkah ini dapat menjadi momentum strategis guna pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat secara efektif, baik dari perspektif keagamaan maupun kebangsaan. Bukan sebaliknya menjadi anomali Ramadhan? Wallahu bishawab.
Makassar, 3 Ramadhan 1445