UIN Alauddin Online - Menjadi pendidik itu ibarat jadi koki di dapur -- setiap “bahan” punya rasa dan tekstur berbeda. Begitu pula dengan anak didik kita, masing-masing membawa karakter, latar belakang, dan potensi yang unik. Maka, tugas kita bukan sekadar menyajikan “menu ilmu”, tapi juga mengolah hati dan jiwa mereka dengan penuh kasih.
Pendidik sejati bukan hanya “mesin fotokopi” pengetahuan. Lebih dari itu, kita adalah pembentuk karakter dan penjaga masa depan. Cetakan yang baik, insyaallah akan menghasilkan hasil cetak yang berkualitas. Dan itu semua dimulai dari adab kita sebagai pendidik.
Pendidikan sejatinya adalah melakukan transfer nilai (transfer of value) bukan hanya transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Maka, mendidik haruslah dengan hati yang ikhlas, bukan karena cari tepuk tangan apalagi tunjangan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Jadi kalau ada yang bilang “yang penting anak-anak lulus ujian,” maka mari kita luruskan: yang lebih penting adalah mereka lulus sebagai manusia yang bernilai.
Adab seorang pendidik tercermin dari kesabaran, kasih sayang, dan niat untuk membimbing, bukan menghukumi. Ingat, tidak semua anak langsung paham dengan satu kali jelaskan. Kadang perlu tiga kali, kadang tujuh, kadang... sampai kita hampir pindah profesi. Tapi justru di situlah ladang pahalanya....
Al-Qur’an mengajarkan: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). Maka, pendekatan yang lembut dan bijaksana adalah senjata utama kita, bukan suara tinggi atau alis yang bertaut.
Jangan lupa, dua nilai penting yang tak boleh absen di ruang kelas: kedisiplinan dan kejujuran. Dua hal ini bukan untuk diajarkan saja, tapi diteladankan. Kalau kita bilang jangan telat, ya kitapun harus tepat waktu. Anak-anak didik itu pintar meniru—sayangnya bukan hanya yang baik-baik saja.
Dan satu hal yang sering terlupa di tengah tumpukan tugas dan kesibukan: doakan mereka. Doakan agar ilmu yang kita sampaikan menjadi cahaya di hati mereka. Siapa tahu, anak didik yang hari ini masih salah menjawab, besok jadi pemimpin yang mengubah dunia.
Akhir kata, mari kita hidupkan kembali semangat Ki Hajar Dewantara: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." (Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.)
Karena mendidik bukan hanya profesi, tapi ladang perjuangan, cinta, dan amal jariyah yang (semoga) tak putus-putus sampai di akhirat , insyaallah.