Saya berterima kasih, sebab saya dapat undangan dari panitia mengenang 18 tahun wafatnya Husni Djamaluddin di Hotel Maleo kemarin 19 Oktober 2022. Dalam pembahasan buku ditulis oleh seorang pejuang berdirinya Provinsi Sulawesi Barat, Dr. H. Rahmat Hasanuddin dihadiri Pejabat Gubernur, mantan Gubernur, Drs. H. Anwar Adnan Saleh, sesepuh masyarakat Sulbar, Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, Dr. Yuyun Yundini Husni, serta dipenuhi para pejuang dari Sulbar. Pulang dari pertemuan saya membuat sebuah coretan tentang kenangan pada Husni Djamaluddin dan coretan itulah yang akan saya sharing pada netizen.
Saya bertemu dengan Bang Husni, demikian panggilan akrab saya pada almarhum, pada 43 tahun lewat di awal 1979. Ketika itu, saya sedang dalam penyelesaian terakhir S1 Fakultas. Adab IAIN Alauddin Makassar, bersamaan perpindahan rumah kost dari jl. Mappanyukki ke jl. Maipa
Sejak itu, hubungan kami dengan Bang Husni sangat akrab disebabkan dua faktor: 1. Kami mengurus masjid yang sama, Masjid Aqsha di jl. Maipa, pantai Losari. 2. Kami membina pengkajian yang sama yaitu Pengkajian Aqsha, pengkajian yang disponsori umumnya para dokter, kecuali sebagian kecil seperti Bang Husni sebagai salah seorang ketuanya dan saya salah seorang sekertarisnya. Pengkajian yang dibina sesepuh Minang, Prof. Dr. Muchtar Naim dianggap terdepan di masanya. Tidak ada satu pun tokoh di Makassar: IAIN, UNHAS, IKIP, dan UMI yang tidak pernah diundang sebagai nara sumber di pengkajian ini. Bahkan pernah antropolog Belanda, Prof. Dr. Jacob Vredenbergt bicara di tempat ini. Para tokoh nasional seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan tokoh lainnya. Pengkajian ini selevel dengan pengkajian Salahuddin di UGM Jokyajarta atau Salman di ITB Bandung.
Membuat pengkajian ini semarak dan diminati adalah keberadaan seorang pejuang dari Tipalayo Mandar, yaitu Bang Husni. Saya merasa bangga bertemu almarhum yang banyak melibatkan saya pada setiap ada kegiatannya. Saya pun mengundang beliau, setiap ada kegiatan saya sebab mulai dilibatkan dalam masyarakat.
Ketika dipercaya sebagai Ketua panitia diskusi panel muballig professional di DPP IMMIM. Saya undang beliau sebagai nara sumber. Beliau berkata, "Seorang mubalig professional adalah seorang yang well in-formed dan bersikap inklusif dalam menghimpun sebanyak mungkin informasi. Mubalig professional sama dengan wartawan yang selalu menyajikan berita mutaakhir, berita yang sudah berlalu satu hari jika tetap dipaksakan dimuat di mass media akan ditinggalkan oleh para pembacanya. "Kerja wartawan, hendaknya dapat diikuti kerja mubalig professonal yang selalu menyajikan hal-hal baru."
Semangat professional per definisi harus diimbangi dengan bayaran mamadai yang membuatnya survive. Sama dengan petinju lagendaris Muhamma Ali yang hidup dalam professinya sebagai petinju. Bagaimana mubalig profesional? Apa mereka bisa hidup dalam profesinya? Kemudian dijawabnya sendiri. "Saya tahu persis honor para muballig yang tanpil di atas mimbar, tidak mungkin membiayai hidupnya sendiri, saya tahu itu, sebab saya pengurus masjid" kata Husni. Maka almarhum menawarkan solusinya, yaitu daripada bicara yang tidak mungkin, maka bicaralah yang mungkin. "Mubalig professional yang mungkin adalah profesional dalam penyajian tetapi amatiran dalam bayaran," katanya.
Suatu ketika saya undang beliau ke Aula IAIN bersama putri-putrinya, di antaranya Yuyun Husni Djamaluddin dalam rangka pembacaan puisi di malam seribu bulan, Lailatul Qadar. Bang Husni berkata bahwa persyaratan utama untuk menjadi peyair yang baik adalah cerdas tidak bodoh alias dungu (meminjam istilah Rocky Gerung). Orang dungu tidak akan bisa jadi penyair yang baik. Untuk bisa jadi cerdas, maka dia harus membaca tanpa mengenal halte.
Terakhir, saya kutip kembali pandangannya, kenapa kita perlu Provinsi Sulawesi Barat. Ini bisa dilacak pada sambutannya di syukuran terbentuknya Sulawesi Barat sebagai provinsi ke-33 di Hotel Syahid Jakarta 22 September 2004. Beliau dipapa dengan kursi roda dari rumah sakit tempatnya dirawat. Setelah itu dikembalikan ke rumah sakit. Beliau berpesan dalam sambutannya, "Saya menginginkan Provinsi Sulawesi Barat yang kita cita-citakan ini adalah provinsi mala'bi (bermartabat), yaitu jauh dari korupsi, para pejabatnya pun harus memberi keteladanan yang tercermin lewat hidupnya yang sederhana," kata Husni.
Pertemuan terakhir dengan almarhum, beliau kelihatannya sudah pasrah kepada penyakit kangker usus yang sudah stadion IV. Almarhum berpesan: 1. Pesannya seperti seorang sufi seniman, yaitu "Tuhan sudah terlalu banyak memberikan nikmat-Nya pada saya, sehingga sudah merasa malu meminta sesuatu lagi pada-Nya, agar saya tidak dinilai terlalu seraka."
2. Jika Anda diberi amanah, "Jangan sama sekali meninggalkan cacat sekecil apa pun. Betul bisa tidak terdeteksi hari ini. Namun percayalah bahwa sejarah akan membongkarnya suatu saat kemudian." Karena itu, "Bukan kematian fisik yang saya hindari tetapi yang saya paling takuti adalah kematian sejarah," kata almarhum.
Akhirnya, kita hadir di sini untuk mengenang jasa perjuangan beliau 18 tahun lewat dalam mendirikan Sulawesi Barat. Kehadiran kita menjadi bagian dari pesan presiden pertama RI, Ir. Soekarno , " JAS MERAH," Jangan sama sekali melupakan sejarah. Hari ini, di tempat ini, kita hadir untuk mengenang perjuangan Husni Djamaluddin semoga kita semua termasuk orang yang disebut Soekano, "Orang yang baik adalah orang yang tahu menghargai jasa para pahlawannya."
Wasalam, Kompleks GFM, 20 Okt. 2022 M/24 R. Awal 1444 H