Gambar 275-catatan-kaki--6.jpg

Seri ini khusus bicara tentang hari-hari terakhir kehidupan Soekarno yang menyedihkan, sekaligus memperkenalkan makna frase sejarawan, "Revolusi memakan anaknya sendiri."

Sejumlah pejuang yang bernasib seperti frase sejarawan di atas. Namun, dalam tulisan ini cukup ditampilkan dua orang pejuang, yaitu Soekarno dan Abd. Kahar Muzakar. Kedua orang ini adalah pejuang besar, tetapi memiliki nasib yang sama di hari-hari akhir hayatnya.

Pada seri ini, penulis menampilkan Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Soekarno seolah-olah tidak akan pernah selesai dibicarakan. Mulai dari pesona pribadinya dalam sejarah, pemikirannya tentang Islam, perjuangannya menuju Indonesia merdeka, pikirannya yang kontroversi, sampai akhir hidupnya yang tragis, hidupnya sepi tersisih, diasingkan. Mungkin dari sekian pejuang, beliau termasuk paling berjasa membawa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Tidak salah jika beliau disebut sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Sayang sekali di hari-hari terakhir hidupnya mengalami kehidupan tragis yang menyedihkan. Beliau berkata pada waktu kekuasaannya dipreteli di depannya, "Saya diam dalam seribu bahasa," katanya ketika melihat kekuasaannya mulai berangsur-angsur diambil-alih dari tangannya, terutama setelah pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawakarsa 22 Juni 1966 ditolak oleh MPRS. 

Pada 12 Maret 1967 MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Sukarno sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Meski Soeharto baru dilantik jadi pejabat presiden. Soekarno kini bukanlah siapa-siapa, ia tak lagi punya kuasa. Atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor. Dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta pada 1969. Penahanan itu rupanya berefek buruk bagi kesehatan Soekarno. Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu secara detail soal kondisi medis Soekarno, telah dibubarkan.

Dalam kondisi demikian, beliau pun masih harus menjalani interogasi dari Kopkamtib soal keterlibatannya dalam G30S. Tapi yang paling tragis dari Soekarno kini adalah kenyataan bahwa beliau harus menghadapi semua itu nyaris sendirian. Beliau dijaga ketat dan diputus dari dunia luar. Bahkan anak-anak dan istrinya harus dapat ijin khusus, walau sekadar menemuinya, itu pun dengan waktu terbatas.

“Sampai akhirnya Soekarno terkena depresi. Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot,” kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Soekarno, Mahar Mardjono.

Pada 6 Juni 1970 Soekarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya, Bayu dan Taufan, hadir di Wisma Yasoo di hari bahagia itu. Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Yang ada hanyalah Soekarno yang semakin ringkih digerogoti penyakit dan depresi.

Tak ada yang menyangka itu adalah ulang tahun terakhirnya. Pada 11 Juni Sukarno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto, kondisi tubuhnya semakin memburuk. Sukarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah sakit. Setelah menjelang tengah malam beliau koma. Keesokan paginya, 21 Juni 1970 Soekarno meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Demikianlah nasib seorang anak manusia. Mulanya sangat dihormati dan terakhir sangat terhinakan. Itulah makna, "Revolusi memakan anaknya sendiri." Seri berikutnya, penulis akan menampilkan seorang yang juga bernasib seperti Soekarno, yaitu Abd. Kahar Muzakkar.
 
Wasalam,
Kompleks GFM, 21 Sept. 2022 M/25 Safar 1444 H