Gambar 195-catatan-kaki--muhammadiyah-dan-nahdhatul-ulama-duduk-bersama-1.jpg

Saya sungguh merasa gembira luar biasa dua organisasi sosial Islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU), bisa duduk bersama dalam sebuah majlis memperbincangkan masalah keumatan. Sudah lama diupayakan untuk duduk bersama itu, tetapi barulah sekarang memperlihatkan hasilnya.

Sejarah Persatuan Umat Islam Indonesia, telah dusahakan jaub sebelum kemerdekaan, atau bersamaan berdirinya organisasi pergerakan nasional di awal abad ke-20. 
Pada tahun 1911 didirikanlah Persatoean Oemmat (PO) oleh Abdoel Halim di Majalengka dan menyusul Ittihadijatoel Islamijah oleh Ahmad Sanoesi di Soekaboemi. Kedua organisasi ini, atas pengaruh Tjokroaminoto disatukan menjadi Persjerikatan Oemmat dan sebagai cikal bakal menjadi Persatoean Oemmat Islam.
 
Pada 18-21 September 1937 berubah menjadi MIAI (Majlis Islam A'ala Indonesia).
Pada masa pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali yang direstui Jepang, maka MIAI berubah menjadi Masyumi (Majlis Syurah Muslim Indonesia) pada 29 Oktober 1943, sebagai tempat bersatunya umat Islam dan mengkoordinasikan kegiatannya dengan nenempatkan K.H. Hasyim As'ari dari NU sebagai ketua dan K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah ikut bergabung. Segera setelah proklamasi, tepatnya 7-8 November 1945 Masyumi resmi menjadi Partai di Jokyajarta sebagai satu-satunya partai umat Islam.
Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.

Setelah dekrik presiden 5 Juli 1957, PKI semakin bermesraan dengan Soekarno. Oleh PKI memanfaatkan kemesraan itu dengan mempengaruhi Presiden Soekarno membentuk lembaga Nasakon (Nasional Agama dan Komunis). Kelompok nasional diwakili PNI, agama diwakili NU dan Kelompok Komunis diwakili PKI. Masyumi dianggap terlibat dalam PRRI, maka Masyumi dibubarkan dan banyak ulama dipenjarakan tanpa melalui pengadilan.

Setelah G30S dan Orde Baru, maka terjadilah fusi partai-partai, yaitu PDI, PPP, dan Golkar. Partai Islam berfusi dalam PPP. Partai ini berlambangkan Ka'ba dan dianggap sebagai rumah besar umat Islam. Sayang sekali, memasuki era reformasi, bukannya umat Islam bersatu dan menjadikan PPP sebagai rumah besar umat Islam, tetapi ramai-ramai melompat keluar dan mendirikan partai sendiri-sendiri, yaitu NU mendirikan PKB, Muhammadiyah mendirikan PAN, bekas Masyumi mendirikan PBB dan ada juga yang mendirikan PKS, sekarang PKS di Era Presiden Jokowi satu-satunya partai Islam oposisi, berpecah lagi dengan Partai Glora, PAN partai yang lahir di  masa reformasi juga terbelah dua jadi Partai Ummat, terakhir berdiri partai berbasis Islam, yaitu Partai Masyumi Reborn .
Karena kesukaan berpecah, maka orang lain memanfaatkannya, misalnya banyak negara Barat mengecam perlakuan China  Komunis terhadap umat Islam Uighur dengan memasukkan di kamp cuci otak, tetapi sementara di Indonesia ada organisasi Islam justru bekerjasama dengan China bahkan pimpinannya mengundang Duta Besar China untuk datang bersama ke sebuah lembaga pendidikan Islam sambil membawa bantuan.
Begitulah gambaran yang dialami umat Islam bahkan ada pengamat berkata, umat Islam lebih hobi berpecah daripada bersatu.

Bagaimana agar umat bersatu? Pemimpin umat bisa mulai dari duduk bersaima dan bisa dibaca pada seri berikutnya.

Wasalam,
Kompleks GFM, 13 Okt. 2022 M/17 R. Awal 1444