Gambar Perjalanan Literasi Dr Mohd Sabri AR Bermula Dari Pers Mahasiswa

Perjalanan Literasi Dr Mohd Sabri AR Bermula Dari Pers Mahasiswa

Perjalanan Literasi Dr Mohd Sabri AR Bermula Dari Pers Mahasiswa

Saya tiba lebih awal dari waktu janjian. Melihat ruangannya yang masih kosong, saya memilih duduk di bangku tunggu. Sekira 30 menit, ia pun tiba dengan kemeja batik kecokelatan, dipadukan celana berwarna hitam dan sepatu pantopel dengan warna yang sama, sudah lama? Sapanya dengan ramah, tidak terlalu lama pi juga, jawabku singkat. Ia lalu mengajakku masuk ke ruang kerjanya di lantai dua Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. 

Belum lama ia duduk, lalu menunjuk setumpuk buku dan barang milik pribadinya,  ini semua sudah mau diangkut, untuk pindah ke Jakarta, ungkapnya. 

Pada 26 November lalu, Dr Mohd Sabri AR Resmi dilantik menjadi Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pelantikan Dr.Mohammad Sabri sebagai Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan BPIP di gelar  di Ruang Dewan Pengarah Lt 1 Gedung BPIP Jalan Veteran III Nomor 2 Jakarta Pusat. Sebelumnya, BPIP RI telah selesai menggelar seleksi terbuka pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama sejak April dan Dr Mohd Sabri Ar menjadi salah satu yang mendaftarkan diri.

Ia pun harus meninggalkan jabatan lamanya sebagai Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (Islamic Studies) di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Seharusnya saya sudah harus masuk kerja disana (BPIP) sejak setelah dilantik beberapa waktu lalu, untungnya masih diberi kesempatan untuk mengurus berkas berkas perpindahan dan urusan dengan mahasiswa, Ungkap lelaki kelahiran Ujungpandang ini.

Selain sebagai akademisi ia juga dikenal sebagai penggiat literasi, Ia menulis di sejumlah media di Makassar, bahkan menjadi kolumnis tetap di Harian Fajar, Tribun Timur dan Koran Tempo Makassar kala masih terbit. Kegilaanya pada kegiatan literasi bermula saat menjadi aktivis pers mahasiswa, semangat membaca dan menulisnya tidak pernah surut hingga kini.

Bermula dari Pers Mahasiswa 

Journalism is an exercise, Jurnalistik adalah latihan untuk menjadi cendekiawan, orang-orang yang menekuni kegiatan jurnalistik dia sedang menyiapkan diri untuk menjadi cendekiawan. Kurang lebih seperti itu ungkapan Nurkholis Majid dalam sebuah mimbar pertemuan pada kisaran tahun 80an, Dr Sabri AR kala itu saat masih berstatus mahasiswa IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia duduk terpukau mendengar kalimat itu. Ia merasa terpancing lalu muncul rasa keingintahuan mengenai kegiatan jurnalisme.

Tak lama dari pertemuan itu, Ia lalu mengikuti sebuah pendidikan jurnalistik tingkat Ujungpadang  yang digelar di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Keinginan Dr Sabri AR untuk menekuni kegiatan jurnalistik dimulai dari sini. Sepulang dari Pendidikan Pelatihan itu, iapun bergabung dan menerbitkan buletin opini yang berada di bawah Badan Pelaksana Kegiatan Mahasiswa (BPKM)  kala itu.

Namun kondisi buletin opini masih dianggap lemah dan belum mampu bersaing dengan pers kampus lainnya, membuat sejumlah aktivis BPKM memunculkan ide mendirikan lembaga pernerbitan kampus yang diberi nama Washilah. Mereka diantaranya Waspada Santing, Laode Arumahi dan Hasanuddin.

Dr Sabri AR lalu mendaftarkan diri di washilah sebagai pengelola. Ia kemudian menduduki jabatan sebagai sekretaris redaksi. Keinginannya untuk menekuni kegiatan jurnalistik membuatnya kembali mendaftarkan diri untuk mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat madya se Indonesia Timur yang diberi nama ukhuwah, kegiatan ini diselenggarakan di Sudiang. Disitulah modal awal saya menekuni dunia jurnalistik dan diinspirasi oleh cak nur. Menurut saya, ada pesan yang kuat dari pernyataan Cak Nur. 

Selain aktif menulis di intern Washilah, Dr Sabri AR juga rutin menulis di Pedoman Rakyat, dan Harian Fajar. Ia menyukai buku buku yang dibacanya dan film yang ia nonton dibuat dalam sebuah tulisan resensi, pedoman rakyat dan harian fajar sebagai sasaran berekspresi, ungkapnya sambil terkekeh.

Kegilaan membaca dan menulis memang dilakoninya sejak masih berstatus mahasiswa, namun yang cukup berpengaruh juga adalah kondisi sosial politik kala itu, dimasa pemerintahan orde baru diera tahun 80an memaksakan agar semua organisasi kemahasiswaan, organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik berasas tunggal yaitu asas pancasila. Akibatnya organisasi dan partai politik pun mau tidak mau harus menerima UU Nomor 3/1985 itu atau bubar.

Namun tetap saja sejumlah organisasi yang berasaskan Islam tidak serta merta berdamai dengan keadaan itu, seperti HMI IMM dan KAMMI. Golongan yang tidak setuju lalu membentuk klub klub studi. Hingga akhirnya klub studi kala itu menjamur di kampus kampus. Akibatnya, mereka semakin kritis dan memaksa diri untuk membaca, kajian, dan menulis. Tradisi inilah yang membantu saya menulis dengan baik..

Tradisi kajian semakin ramai, hampir semua organisasi kampus rutin menggelar kajian. Begitu pula yang terjadi pada pers kampus saat itu yang memang dikelola dari tangan dari aktivis kampus, ini pun membawa pers kampus semakin berwibawah. Pers Mahasiswa memiliki keistimewaan tersendiri lantaran disebut sebagai penerbitan khusus. Saat itu, setiap penerbitan pers harus mengantongi surat ijin terbit yang berbentuk SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) dari Kementrian Penerangan. 


Ini merupakan cara orde baru mengontrol media. Jika kritis, dibungkam dengan pencabutan SIUP, seperti yang dialami oleh majalah Tempo, Editor dan Detik. Sementara Pers kampus yang disebut penerbitan khusus tak harus memiliki itu. Akhirnya pers kampus menjadi sasaran bagi kalangan aktivis untuk meluapkan ekspersi. Ini pun tak lepas dari peran Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Sejalah dengan itu, era 80an juga menjadi masa lahirnya penerbitan-penerbitan besar seperti mizan, hidayah, dan penerbitan lainnya. 

Itu menambah gairah keilmuan sehingga tradisi membaca tradisi kajian tradisi kepenulisan ibarat sesuatu yang bersenyawa memiliki bobot tersendiri dari produk jurnalisme pers kampus, tutur Dr Sabri AR.

Menulis adalah dakwah diluar mimbar

Bagi Dr Sabri AR AR, menulis adalah panggilan pengabdian kepada masyarakat, apalagi dengan statusnya sebagai akademisi untuk memberi pandangan akademis terhadap fenomena sosial yang terjadi ditengah masyarakat.

Karena seorang akademisi itu harus menjadi cendekiawan sementara salah satu ekspresi seorang cendekiawan adalah menulis.
Namun, Menurut Dr Sabri AR, cendekiawan itu jauh lebih luas dari akademisi. Lantaran akademisi sangat dekat dengan urusan dosen, sementara cendikiawan lebih luas dari itu, merupakan terjemahan dari intelektual publik yang memberi pemahaman pemikiran kepada masyarakat. 

Kemampuannya menulis dijadikan sebagai jalan dakwah di luar mimbar, lantaran dirinya tidak terdaftar sebagai muballigh di berbagai lembaga dakwah seperti IMMIM untuk berdiri di mimbar mimbar mesjid. Sehingga menulis di berbagai media menjadi jalan yang dipilihnya untuk berdakwah.

Begitu pula saat mendaftarkan diri sebagai Direktur Pengkajian Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), ia menganggap ini sebagai jihad intelektual. Saya merasa terpanggil untuk kesana (BPIP) untuk berkontribusi secara perseorangan dan secara kolektif.

Tantangan Generasi Milenial
Dr Sabri AR  mengaku ingin mengkaji sila sila dalam pancasila ini dengan berbasis agama, budaya, dan etnisitas di Indonesia. Namun ia menyadari saat ini masyarakat hidup di era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan perkembangan telekomunikasi dan digitalisasi. Menurutnya, kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi masyarakat 10 atau 20 tahun lalu. 
Apalagi revolusi industri 4.0 tumbuh bersamaan dengan generasi milenial yang sangat akrab dengan dunia maya dan digitalisasi. Kondisi ini menjadi tantangan bagi BPIP untuk memberikan pemahaman makna sila dalam pancasila.

Bila pemerintah tidak menyadari itu kata Dr Sabri AR, akan mengalami anomalis dan kegagapan. Lantaran cara berfikir generasi milenial ini sangat jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. 

Kita harus memahami karakteristik generasi milenial, mungkin model pemaparan materinya dibuat dalam bentuk game, talk show, atau art show, ini yang betul-betul mewakili karakter mereka. Kalau gaya  indoktrinasi tidak lagi laku. Katanya. 

Dengan menyadari jejak masa lalu, Pihaknya  akan membuka ruang kerjasama dengan Universitas, Organisasi Masyarakat  (Ormas) yang mempunyai minat di bidang kajian pancasila atau kebudayaan untuk didorong di tengah masyarakat sehingga gagasan kepancasilaaan langsung muncul di tengah masyarakat.

Ia memberi gambaran kolaborasi riset dengan ormas nantinya, terkait bagaiman pemahaman ketuhanan yang maha esa dalam perspektif agama agama lokal di sulawesi seperti agama tolotang di Sidrap, Agama Tupatuntung di Kajang, atau Binanga Benteng di selayar. Ormas tersebut melakukan riset, sehingga riset ini bisa menemukan pemahaman ketuhanan yang maha esa dari perspektif yang beda. Agama Lokal menurut Dr Sabri AR Agama Lokal Nusantara adalah suatu yang ilahi, tidak hanya dari agama mainstrem saja, agama agama lokal menurutnya patut diapresiasi.

Previous Post UIN Alauddin Makassar Gelar Wisuda Angkatan 103, Rektor: Jadilah Sarjana Petarung!
Next Post Komitmen Jaga Kualitas Pendidikan, Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Makassar Susun RPS