Memasuki masa kampanye menjelang pemilihan umum legislatif 9 april 2014 lalu, dunia jejaring sosial cukup diramaikan sejumlah berita yang menampilkan gambar-gambar beberapa partai yang berkampanye dengan menampilkan dangdut bergaya erotis. Tidak segan-segan mendemostrasikan gerakan salah satu style dari pornoaksi; doggy style. Apakah maksud dari itu semua? Jika ingin menjual citra, citra apa yang terkadung dari erotisme?

 

Tujuan dari kampanye politik adalah menyampaikan identitas, prinsip serta pesan-pesan politik dalam bentuk visi dan program, agar partai bersangkutan memperoleh simpati dan daya pikat dari warga negara yang menjadi kontestan pemilu. Kita masih bertanya-tanya, apakah bahasa erotisme ini menjadi bagian dari penegasan identitas partai, atau negara kita memang sedang menggunakan mesin politik yang tidak memiliki kejelasan identitas politik? Parpol kita mungkin sudah kehilangan gagasan, dan karenanya yang terpenting bukan gagasan yang mencerahkan, melainkan apapun yang memiliki kekuatan daya pikat, meski  daya pikat sesaat yang sesat.

 

Satu-satunya yang terjelas dari fenomena itu adalah bahwa saat ini parpol kita sedang dalam kondisi psikologi yang berada pada level spectacle mentality; suatu tingkatan kapasitas mental dimana jiwa mencapai rasa bahagia ketika ia merasa sedang dalam sebuah pertunjukan massif, baik ia sebagi penonton atau pun ia sebagai tontonan. Seorang yang bermental tontonan akut, tidak hanya sekedar bahagia menonton “tubuh” dan segala tanda (sign) yang menempel ditubuh orang lain, tetapi dalam waktu bersamaan juga mempertontonkan miliknya kepada orang lain, menjadi penonton sekaligus tontonan, “ia yang menonton” sekaligus “ia yang ditonton”. Kamu menontonku yang juga sedang menontonmu.

 

Jika sosok pribadi (profil) seorang yang bermental tontonan akut ini, ditarik ke menjadi profil parpol, maka yang terlihat adalah sosok parpol yang senang menjadi pusat; subjek sekaligus objek tontonan. Psikologi parpol ini menjadi representasi dari kapasitas kejiwaan dan kapasitas intelektual dari manusia-manusia yang bercokol di dalam parpol bersangkutan.

 

Tetapi sesungguhnya, keadaan ini lahir dan mendapat dukungan langsung dari keadaan umum mental jiwa masyarakat kita. Bagaimana pun, para politikus adalah anak kandung dari masyarakat dan membuat tontonan politik menarik untuk masyarakat. Dari, oleh, dan untuk masyarakat. Keadaan psikologi parpol ini bukan tidak disadari, karena cenderung lebih terkesan berjalan dalam pengorganisasian yang cukup baik, meskipun mungkin tidak sehebat dengan sebuah manajemen pementasan profesional kelas dunia.

 

Parpol yang bermental tontonan akan cenderung berupaya keras, jika perlu dengan daya paksa, untuk menjadikan dirinya senantiasa menjadi pusat perhatian, pusat tontonan. Karenanya materi tontonan harus berubah-ubah; ia menjadi semacam rangkaian materi yang dipertontonkan secara serial, sirkuler, tak henti-henti, dan harus spektakuler alias heboh. Untuk senantiasa dapat merebut dan menjadi pusat perhatian, maka ia harus menonton parpol lain apa yang sedang dipertontonkan. Di sinilah peran image, citra, opini, dimainkan sedemikian rupa melalui media.

 

Ruang sosial menjadi panggung tontonan yang paling luas dan fleksibel untuk di design berubah-ubah. Panggung sosial itu siap diubah untuk suatu waktu mementaskan tontonan citra yang memberi keuntungan bagi diri sendiri dan di waktu lain mementaskan tontonan citra negatif bagi parpol lawan. Tidak heran menjelang pemilu seluruh parpol mempertontonkan citra positif dirinya, tetapi segera di jawab dengan parpol lain yang mempertontonkan citra negatif lawan-lawannya terutama yang teridentifikasi sebagai lawan terberat.

 

Persoalan ini tidak hanya sampai disitu, tapi juga berlanjut pada peroalan tontonan yang telah menjadi komoditi. Tontonan lebih jauh dinyatakan oleh Guy Debord di dalam Society of the Spectacle. Bahwa tontonan bukanlah kumpulan citra-citra, melainkan relasi sosial di antara orang-orang yang diperantarai oleh citra-citra. Dengan demikian, tontonan dan citra berperan sebagai penentu dan pengendali beragam bentuk hubungan antara kelompok-kelompok sosial; hubungan kelas, status, atau gaya hidup. Setiap tontonan mengandung citra, dan melalui citra-citra itulah relasi terkonstruk. Dari situ kemudian, tontonan berupa citra komoditi menjadi acuan nilai dan moral bagi masyarakat. padahal citra-citra itu seperti disebut Haug, merupakan rangkaian ilusi yang diinjeksi ke sebuah komoditi untuk mengendalikan massa konsumer.

 

Kita tak pernah berhenti dipertontonkan citra baik oleh setiap partai yang betujuan untuk mengendalikan massa konsumer politik. Seorang politikus tiba-tiba pandai mengucapkan kata-kata bijak, tiba-tiba menjadi dermawan, tetapi disaat bersamaan dari partai yang sama juga kita dipertontonkan dengan politikus yang tertangkap dalam korupsi atau video porno.

 

Dalam sistem produksi dan konsumsi, sebuah produk barang harus disertai produk tontonan, sebutlah misalnya iklan, citra, gaya hidup, yang berisi tawaran sejumlah ide dan konsep yang memberi makna pada barang. Hingga pada suatu titik, konsumer lebih tertarik dengan kegandrungan tinggi untuk membeli tontonan di balik barang ketimbang fungsi atau nilai guna barang itu sendiri. Dalam tahap itu, barang dan tontonan berada dalam posisi yang sama sebagai komoditi.

 

Logika tontonan dalam masyarakat konsumsi seperti itu mulai menggejala dalam percaturan politik di Indonesia yang dimainkan oleh partai, figur partai, atau pendukung partai. Figur calon yang didukung oleh sejumlah partai, dengan bersemangat mempertontonkan sejumlah aktifitas sosial yang dihadirinya meskipun sekedar wisuda santri TK/TPA, yang sebelumnya hampir semua warga mengetahui bahwa dalam kondisi normal kunjungan seperti itu mustahil dilakukan oleh seorang pejabat. Fenomena ini tidak dimaksudkan untuk memberi penilaian benar-salah atau layak-tidak layak, tetapi lebih kepada upaya membangun citra dalam rangka “memasarkan” kefigurannya melalui logika tontonan.

 

Fenomena tontonan juga terlihat pada kegiatan sosial yang mengatasnamakan silaturrahmi atau pertemuan apapun namanya yang memungkinkan untuk menghadirkan massa dengan jumlah besar –lebih sering disebut sebagai show power— yang biasanya diawali atau diakhiri dengan pawai keliling kota, berkunjung ke panti sosial atau rumah sakit, masjid-masjid, dan sebagainya. Fenomena tontonan ini membangun makna tanda dan citra untuk diinjeksi ke dalam ketokohan, visi-misi, dan janjijanji politik, sebagai produk suksesi partai politik, dan tontonan itulah yang menjadi landasan penilaian rakyat untuk memilih sosok pemimpin dalam pemungutan suara. Tontonan itu pula yang membentuk relasi politik dengan sejumlah institusi atau pranata sosial sebagai kantung-kantung massa, sebuah relasi yang berdiri di atas citra atau ilusi-ilusi politik. Dalam logika tontonan ini rakyat yang memilih keterpesonaan akan mendapatkan kehampaan, dan segala bentuk turunan yang timbul dari kehampaan itu.

 

 

Banga Pinrang, 04 April 2014