Wahyuddin Abdullah (Dosen Akuntansi UIN Alauddin Makassar)

Harapan manusia yang beriman adalah kembali fitrah, yaitu suci, bersih, tidak bernoda seperti bayi yang baru lahir. Fitrah secara kaffah dapat tercapai dengan  menjalankan aktivitas ibadah dan aktivitas keperilakuan dalam mengemban misi khalifatullah fil ardh berdasarkan  rahmatan lil alamin. Konteks ini tentunya mengisyaratkan perlunya pendekatan berpasangan, yaitu mensinergikan kepentingan akhirawi dengan duniawi, mensinergikan aktivitas ibadah dengan keperilakuannya, mensinergikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama,  mensinergikan akal rasional dengan hati nurani (intiutif), dan akhirnya menyatuhnya hamba-Nya (manusia) dengan Allah swt. Pendekatan yang tidak memahami kesatuan realitas tersebut, menjauhkan manusia dari fitrahnya dan kesadaran ketuhanannya (God Consciusness).

Fenomena etika dalam menjalankan aktivitas keduniaan oleh manusia, seakan melepaskan dirinya dari aspek ibadah.  Ketertutupan hati nurani manusia yang hanya mementingkan egoistik akal rasionalnya, tidaklah cukup untuk menjadikan manusia sempurna sebagai rahmatan lil alamin. Berbagai persoalan hidup, seperti krisis ekonomi, manipulasi angka-angka laporan keuangan, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak memecahkan permasalahan, dan kerusakan alam mengindikasikan bahwa manusia dalam menjalankan aktivitas keduniaannya tidak berperilaku merefleksikan nilai ibadah yang sekaligus memposisikan dirinya sebagai rahmatan lil alamin.

Bisnis konvensional masih menyisahkan banyak kasuistik etika yang dipandang ambigu. Pelaku bisnis diperhadapkan dengan pengambilan keputusan dilematis,  regulasi belum mengatur praktik bisnis tertentu sebagai rules of game-nya tetapi kondisi dan motivasi tertentu dari pengambil keputusan (decision maker) harus melakoninya. Keputusan tersebut melanggar nilai-nilai etika. Namun celakanya, hal ini terhindar dari sanksi regulasi dan tidaklah menjadi temuan secara auditing.  Artinya, perilaku etis pengambil keputusan dan pelaku bisnis berhubungan langsung dengan unsur moral manusianya. Pendekatan untuk mengubah perilaku tersebut tentunya bermula dari unsur manusia, karena  secara fitrah manusia terlahir dalam keadaan suci dan bersih (sabda Rasulullah). Faktor lingkunganlah yang menyebabkan manusia berubah menjadi tidak beretika bahkan perilakunya lebih jelek dari binatang (QS al-A’raaf: 179).  

Dampak secara global, di Amerika Serikat pada tahun 1976 harga barang meningkat 15% disebabkan  praktik bisnis yang kurang etis dan sekitar 20% kegagalan bisnis disebabkan praktik yang tidak etis. Skandal akuntansi di Inggris, Perancis, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan beberapa kasuistik di Indonesia dengan manipulasian financial statement terjadi karena conflict of interest beberapa pihak dalam perusahaan. Contoh lainnya, fenomena mark-up harga dan manipulasi mutu produk sudah menjadi bagian hidup dari pelaku bisnis.  Jika manajemen tidak melakukan standar etis yang tinggi maka rasionalisasi perilaku tidak etis menjadi kebutuhan dalam aktivitas bisnis. Potensi konflik organisasional-profesional (organizational-professional conflict)  disebabkan adanya tekanan pihak manajemen untuk melakukan perilaku tidak etis. Akhirnya, konflik etis  yang dirasakan dapat menyebabkan organisasi menjadi disfungsional, seperti komitmen organisasional yang rendah, komitmen profesional yang tidak terakomodasi, dan niat turn over yang sangat tinggi. 

Etika dalam perkembangannya menjadi sebuah kajian filsafat tentang moral, moralitas, dan pengkajian secara sistematis tentang perilaku. Bahkan, etika diperhadapkan pada proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.  Tolak ukur pertanggungjawaban moral meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika situasi, dan relativisme moral. Teori etika berkembang dengan pesat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam tatanan masyarakat sosial. Secara garis besar, teori etika terdiri atas etika deontologi, etika teleologi, dan etika hybrid. Namun, etika Islam lahir karena ketidakpuasaan terhadap pemahaman teori etika barat yang berusaha memisahkan antara transaksi bisnis dengan moral dan etika. Nabiyullah Muhammad saw mengimplementasikan prinsip-prinsip bisnis secara universal, yaitu siddiq, amanah, fathonah, dan tabligh.  Dan inilah menjadi prinsip yang dapat dikembangkan sebagai etika Islam dengan nilai-nilai universalnya tanpa mengesampingkan nilai-nilai dasar amar ma’ruf nahi mungkar (QS al-Imran: 104).

Pergeseran tersebut, telah melirik pemikiran etika yang tertuang dalam al-Quran dan sunnah. Secara normatif, al-Qur’an  menyampaikan tanggung jawab individual  sebagai makhluk sosial sangat penting dalam setiap aktivitas (ataupun bisnis). Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Isra: 36). Etika barat cenderung mengabaikan aspek spritual, berbuat baik bukan atas dorongan personality sebagai insan yang percaya akan kebenaran illahiah tetapi karena perilaku baik tersebut merupakan norma yang berlaku umum (general acceptance). Sementara itu, al-Qur’an dan sunnah mengisyaratkan membangun etika secara islami berdasarkan konsep tauhid (dimensi vertikal), keseimbangan  (dimensi horizontal dengan semesta alam), free will (ikhtiar), pertanggungjawaban (fard al), dan kebajikan. Lazimnya, kategori keputusan dan tindakan dianggap baik bilamana menghasilkan utility tanpa menelaah prosesnya yang justru dapat saja bertentangan dengan nilai-nilai etika dan aspek spritualnya.  

Etika Islam dalam implementasi praktik bisnis tentunya didasarkan pada ajaran agama Islam, nilai-nilai etikanya berdasarkan al-Qur’an dan hadis (sumber nilai utama penentu pilihan baik dan buruk). Derivasi kedua sumber tersebut diformulasikan praktis dalam bentuk syariah. Syariah, tidak hanya merupakan sistem hukum positif saja tetapi juga sisi moralitas (etika), atau merupakan sistem hukum yang komprehensif yang meliputi hukum dan moralitas. Hal ini menandakan bahwa makna syariah berhubungan langsung dengan etika (moral), yaitu syariah sebagai hukum yang dibangun berdasarkan tanggung jawab moral dan syariah diimplemnetasikan dengan sikap mental dan moral. Komplementer keduanya, menunjukkan acceptability atas syariah sebagai etika yang mampu membedakan dan memilih secara tegas dan tepat yang baik diantara yang buruk dan yang benar diantara yang salah (etika syariah).

Nilai etika syariah  merupakan pancaran hati nurani yang intuitif untuk secara sadar mencari dan memahami sunnatullah dan melaksanakannya dengan tunduk pada sunnatullah pula.  Etika tersebut, tidak hanya bermanfaat pada lingkungan sosial tetapi juga memberikan manfaat spritual (hubungan vertikal dengan Sang Khalik) bagi pelaku etika syariah.  Etika syariah meliputi  ketentuan-ketentuan hukum (sunnatullah) yang bersifat manusiawi dan juga menghubungkan pelaku etikanya dengan Allah swt. Hal tersebut merupakan kewajiban (duty) manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang sesuai dengan fitranya. Manusia mempunyai potensi kesadaran atas nilai-nilai ketuhanan dan ketundukannya kepada Allah swt sebagai fitrahnya. Sifat dan tindakan tercela (lingkup etika) manusia di muka bumi ini menyebabkan ternodai fitrahnya, tidak mempraktikkan nilai-nilai mulia dalam aktivitas keduniaannya.

Kesadaran atas nilai-nilai ketuhanan (taqwa) merupakan kesadaran puncak kembali kepada fitrah manusia. Ternodainya kesucian aktivitas keduniaan tentunya kembali kepada unsur manusianya. Namun, tidak kalah pentingnya adalah kesadaran akhlak manusia sebagai usaha hidup harmoni ditengah-tengah masyarakat yang taat terhadap sunnatullah. Kesadaran tersebut tentunya memperkuat kecenderungan alami (fithrah) manusia untuk senantiasa berbuat baik (hanifiyyah) [QS al-Baqarah: 177] yang disuarakan oleh hati nurani atau kalbu manusia, kemudian dorongan batinlah yang mewujudkan nilai-nilai firman Ilahi tersebut. Kadar nilai baik dan buruk untuk setiap orang adalah berbeda tetapi adanya keyakinan terhadap Allah swt yang tertuang dalam sunnatullah sebagai pedoman bertingkah laku (bertindak) membuat tujuan  setiap orang adalah sama, yaitu kebaikan dunia, kebaikan di akhirat, dan terhindar dari siksa api neraka (QS al-Baqarah: 201). Segala yang diperintahkan-Nya adalah baik (amar ma’ruf) dan segala yang dilarang-Nya adalah tidak baik (nahi mungkar). Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (QS Ar-Rahmaan: 60).

Refleksi syariah sebagai dasar nilai etika merupakan esensi manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang berupaya mencari dan memahami sunnatullah dan kesadaran  ketuhanan  sebagai bagian inklusif dari etika syariah. Aktivitas dan rutinitas keseharian tentunya dibangun berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki manusia dan penjabaran nilai-nilai sosialisme dari individu tanpa mengabaikan hubungan vertikal Ilahiah. Perkembangan interaksi sosial di masyarakat lebih cenderung mengabaikan etika syariah, bersifat individualistis, dan materialistis  sehingga menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan ekonomi dunia.  Pergeseran paradigma yang berakar pada intelektual  ke emosional dan spritual, seperti implementasi praktis etika syariah dalam dunia bisnis menjadi solusi ketidakpuasan dan tuntutan kesadaran manusia untuk tetap pada koridor fitrahnya■.

 

*Artikel Peserta Orientasi IDI Tahun 2012: Dokumen Pusat Peningkatan &Penjaminan Mutu UIN Alauddin